Jumat, 13 Januari 2012

Perfect insanity

 “In a mad world, only the mad are sane ”
 -Akira Kurosawa,1910 -1998

 

       Bak menjadi makhluk asing di planet sendiri. Bukanya ku merasa aman, malah terancam. Abnormal dalam batas tak wajar. Mungkin ini karena manusia sudah kelewat kurang ajar. Manusia tak lagi sungkan - sungkan mengexploitasi sana – sini demi kepentingan pribadi. Melubangi atap rumah sendiri dengan aktif berkontribusi polusi. Dan berdalih demi sumber energi. Sayangnya mereka masih saja tak kunjung sadar oleh ulah sendiri. Walau telah di-ingat-kan berulang kali. Terlebih ulahnya memberi ancaman berarti terhadap keberlangsungan existensi. Mereka tak lebih hanya semakin menyakiti diri sendiri. Jadi jangan salahkan bumi atas segala yang terjadi. Tak hayal bencana alam bak kontrol populasi. Salah – salah hanya sekedar menghirup udara terlalu dalam, karbon monoxide siap menghunus paru – paru. Bernafas pun juga perlu berhati – hati. Jadi, kenapa harus menutup hidung jika bau kentut? Setidaknya sensasinya tak begitu mematikan. 

         Langit tak lagi jadi payung bumi dari sengatan sang mentari. Sungguh ironis jika memang butuh baju anti radiasi untuk hidup di planet sendiri. Bumi tak lagi layak untuk mereka tinggali. Atau merekalah yang tak lagi layak berada di bumi ? Sepertinya bumi sedang depressi. Tak hayal bumi menjadi semakin labil. Tiba – tiba terik, tiba – tiba badai, tiba – tiba panas , tiba – tiba dingin. Andaikan aku sebuah gelas, bagaimana aku tak retak. Begitu pula dengan semua orang yang mendekam didalamnya. Sepertinya otak dan hati mereka juga pada retak.

Bak menjadi makhluk asing di antara species sendiri. Kalau pun keadaan bumi sudah cukup mencekam, tata masyarakat pun tak kalah seram. Serasa dikelilingi para predator kanibal yang siap memangsa species sendiri. Keadaan ini cukup relevan menurutku. Mengingat kita (manusia) tak lagi makan untuk bertahan hidup. Melainkan demi pemuasan libido. Aku jadi teringat fenomena tentang kucing rumahan yang takut dengan tikus. Seekor binatang yang kehilangan insting sebagai naluri alamiahnya. Sedikit berbeda dengan itu, manusia juga kehilangan martabat dan nurani sebagai identitas manusianya. Singa menerkam manusia untuk dimakan. Tapi manusia membunuh singa hanya untuk sekedar iseng. Lebih dari itu, sering kali mereka iseng terhadap sesama manusia. Aku jadi tahu kenapa manusia dan binatang dalam taksonomi diklasifikasikan dalam satu kingdom. Tapi entahlah, aku lebih merasa ini hanya sebuah trend.


Peradaban kian biadab. Di Cina, mayat terlantar dianggap barang biasa. Mungkin disana para sociopath bertebaran dimana – mana. Di Palestine, wanita dan anak – anak dibantai adalah barang biasa. Dari afrika hingga papua kelaparan melanda. Sedang nan jauh disana. Negara maju pesta pora. Tapi yang jelas dimana – mana uang adalah prioritas utama. Tidak ada yang mau berbagi. Tidak ada yang mau saling peduli. Terlebih lagi sekedar toleransi. Apalagi kontribusi. Batasan telah hilang kemana. Sebuah rentetan peristiwa dan fenomena gila. Dunia macam apa ini ? Dimanakah ku berada saat ini ? ada apa di balik semua ini ? Mungkin hanya aku yang terlalu munafik untuk menerima manusia apa adanya.

Tapi apapun itu, sampailah kita dalam era tanpa inti. Era tanpa batas. Era gila. Jadi, terapi apa yang sekiranya cocok untuk orang gila? Freud mengaku pernah menyembuhkan orang gila lewat mengkaji mimpi – mimpinya. Sayangnya ia hanya berhasil membuat si gila tampak tak gila. Karena pada hakekatnya, ia masih orang gila sepenuhnya. Jadi jika freud tak pernah gila, bagaimana dia bisa tahu bahwa pasienya benar - benar orang gila? Aku jadi bingung, siapa yang gila sebenarnya ? Tapi aku juga tak pernah mendapati ada orang gila menerapi sesama orang gila. Bisa jadi freud adalah yang pertama. Kurasa kesalahan terbesar freud hanyalah karena ia berurusan dengan orang gila. Atau dia hanya sekedar mencoba melogikakan fenomena metafisik. Sebuah tindakan gila sebagai perwujudan ide gila. Agaknya dia terlalu memaksa, kasihan dia. Begitu juga dengan pendahulu dan teman seperjuangannya. Entah apa yang jadi motivasinya. Kenapa mereka sebegitunya dalam mematerikan barang kasat mata. Dasar gila !

Hikmahnya, kurasa masih belum ada obat untuk si gila. Mengingat ini adalah era gila, kurasa orang gila cukup dikultuskan saat ini. Sebuah kasus kriminal bakal resmi ditutup jika sang kriminal diidentifikasi sebagai orang gila oleh para kriminolog. Kini banyak orang gila yang memiliki karir cemerlang. Banyak orang gila yang menjadi idola saat ini. Gawatnya mereka lah yang dianggap normal di zaman ini. Tak heran jika tindakan amoral dianggap barang wajar. Tak khayal jikalau menolong sesama dianggap tak wajar. Tak pelik jika bertindak jujur dianggap abnormal. Tetapi seandainya boleh memilih, aku lebih memilih dianggap gila di era yang gila ini. Dan tendensiku sebagai orang gila, tak lebih hanyalah mengajak mereka yang normal menempatkan kembali segala sesuatunya sesuai pada tempatnya. Mungkin aku sudah gila?

Mother tongue

Share