Minggu, 12 September 2010

Arbiter dan A priori


  • Semua akan baik – baik saja ketika ada yang saling memahami. Manusia mana yang tidak narsis dan tidak bertopeng ? Jadi, siapa yang lebih memahami diri kita selain diri kita sendiri ? Apakah empati itu ?


  • Terkadang manusia tidak percaya atas apa – apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya sendiri ? Jadi kenapa ada orang yang percaya terhadap sesuatu di luar dirinya ? Jadi, apa yang harus kita percaya-i? Kenapa kita harus percaya ?


  • Fakta adalah segala hal yang menutup kemungkinan lainnya. Jadi bagaimana ketika sebuah ke-tidakmungkin-an menjadi fakta ? Apakah mustahil itu ?


  • Harapan akan kebahagiaan. Harapan akan dunia yang lebih baik. Harapan akan afterlife. Jadi, apa yang tidak kita harapkan ? Siapa yang berharap untuk dilahirkan kedunia ? Kenapa kita terus berharap ?


  • Orang bodoh adalah orang yang tak tahu apa - apa. Orang pintar adalah orang yang lebih banyak tahu. Jadi, apa yang orang bodoh lebih tahu dari orang pintar ? Sejak kapan ada orang pintar tanpa ada orang bodoh ? Pertanyaan bodoh


  • Berbohong itu adalah dosa. Ada yang tahu asal - muasal kebohongan tentang manusia yang tidak boleh berdosa ? Jawab dengan jujur


  • Ahli hukum dan kriminal selalu mencari-cari celah dalam aturan. Jadi kenapa tak membuat hukum yang melarang mencari celah ? Begitu pula hukum mengenai konsesi
    hukum. Jadi, kenapa ada hukum ?


  • Kapankah kita merasa iba ? Apa benar orang tak kenal belas kasihan juga tak kenal membantu sesamanya karena dirasa perlu ? Jadi, apa hubungannya rasa iba dan saling berbagi ? Kenapa mesti harus iba ?


  • Budaya rapi ala yunani, ternyata masih banyak yang termakan trend mode retro rasional antromorphis cosmos. Apakah deklarasi kemerdekaan kita tidak mencakup kemerdekaan berpenampilan ?


  • Coba pikirkan hal yang tak terpikirkan olehmu ! Masih percaya ada orang bodoh ?


  • Mengapa kita merasa takut pada ketidakjelasan ? Jadi, buat apa hidup ? kenapa mesti takut, lagian apa juga yang jelas ?



  • Grand design cerdas orisinil tanpa pengaruh apapun. Tahan sebentar, akan kukirim T-m@il (Transendental mail) kepada – NYA.


  • Kenapa kita harus memberi sedangkan kita sendiri masih butuh ? Kebutuhan apa yang tidak untuk memberi ?


  • Perkataan yang menyakitkan perasaan. Sejak kapan perkataan itu untuk dirasakan bukan untuk didengarkan ? Mungkin hanya terjadi dislokasi fisiologi atau mungkin mereka hanya terlalu melodramatis.


  • Semakin berumur, seseorang menjadi semakin realistis. Tapi tak jarang dari mereka yang memeriksakan penyakitnya pada aktor pemeran film dokter. Begitupula dengan meniru adegan dan gestur dalam film tersebut. Betapa realistisnya !


  • Ada yang tahu bagaimana kiranya seorang nihilis itu ? Cuma Nietzsche yang berhak menjawabnya menurut Derrida.


  • Akhir yang indah bukanlah pelajaran yang berarti. Apa yang lebih nyata dari pada kenyataan yang pahit ? Jadi apa itu indah ? ternyata keindahan menyesatkan !


  • Sekarang, Uang dan modal telah menjelma menjadi ID. Kemana perginya orang – orang yang sibuk melanjutkan hidup dan berkontribusi, yang tak bisa dibeli itu ? Ternyata harga diri manusia mengalami devaluasi. Tak khayal zionis menjadi berjaya !


  • Para pakar dan ahli sekarang seakan bisa tahu apa yang belum diketahuinya. Tak pelik jika ahli agama berlagak seolah tuhan. Dan mereka menjadi maha sok tahu !


  • Culture hypnosis, itu termasuk sepuluh besar jargon favoritku selain nothing. Terjaga dalam tidur (sleeping awake), itu termasuk dalam culture hypnosis. Ada yang belum pernah mengalaminya ?


  • Bagaimana cara melakukan malpratik pada suatu Negara? Jual seluruh asetnya, dan buka diri seluas -luasnya untuk dijajah. Terdengar familiar ?


  • Tahu apa itu mengerikan ? ketika kita berani melakukan sesuatu yang besar kemungkinannya untuk berhasil.


  • Seringkali seseorang tewas secara mengenaskan karena konsisten dalam rutinitasnya. Jadi apa salahnya inkonsisten ?

  • Tahukah apa kiranya cara terbaik untuk lari dari permasalahan kita ? Selesaikan permasalahan orang lain ! Entah itu patriot , entah itu pecundang..


  • Apa jadinya jika seekor ayam potong sadar bahwa dirinya terlahir untuk berakhir di penggorengan ? Ternyata keseimbangan tak butuh keadilan.


  • Bagaimana bisa seseorang tak pernah belajar dari kesalahan-nya? Karena mereka adalah seorang egomaniac, sosiopat dan tak bermartabat ! atau mereka hanya terjebak dalam eternal stupidity.


  • Bedeteung (kesadaran makna) kata bosan telah mengalami degenerasi. Karena sekarang orang tidak bosan pada sesuatu yang tidak imajinatif dan biasa saja. Atau ini tak lebih hanya sekedar degenerasi kinerja otak ?


  • Fanatisme dapat menyebabkan terinstitusi, kebutaan dan vandalism. Mungkin ini cukup relevan untuk dicantumkan pada bungkus rokok atau candu lain seperti agama, ideology , Branding dan lain sebagainya.


  • Secara de facto dan de jure sebuah bangsa dinyatakan merdeka, jika mereka telah mendeklarasikan kemerdekaannya dan mendapatkan pengakuan dari bangsa lain. Walaupun secara teknis bangsa itu masih dijajah disegala bidang.


  • Sudah terlalu banyak panti rehabilitasi untuk para pecandu pain killer. Mungkin panti rehabilitasi untuk para pecandu time killer adalah lahan bisinis baru yang menjanjikan.


  • Kapankah seorang manusia bisa benar – benar merasa puas ? saya sangsi itu terjadi kalaupun seisi jagat raya telah habis karena dikonsumsi. Apa itu kepuasan ?


  • Ingin tahu cara berhenti instant dalam mencapai sesuatu, maka banggalah ! Dan selamat karena telah mencapai garis finish libido imajinermu !


  • Kiranya apa prasyarat untuk menjadi seorang psikiater yang objektif ? Dalam urusan perasaan dan merasakan , Adakah yang lebih objektif dibandingkan seorang psychopath ?


  • Apa hal yang menjadi momok bagi setiap manusia ? merealisasikan mimpi. Itulah mengapa belakangan zombie meledak populasinya.


  • Bagaimana caranya agar seseorang mampu menghargai kehidupan sebagai suatu anugerah ? Dia harus mencoba bunuh diri !


  • Seseorang merasa biasa terhadap segala sesuatu yang biasanya ada. Seseorang baru merasa kehilangan saat tidak memiliki apa yang biasanya ada. Apa itu penyesalan ?


  • Ternyata karakter dan alasan pembenaran selalu berjalan sinergis.


  • Buat apa kita hidup ? Apa tujuan hidupmu ? Kenapa kita hidup ? Sebuah misteri kehidupan


Selasa, 13 Juli 2010

Why so serious ?




Ini tak lebih hanyalah sebuah expressi. Ini tak lebih hanyalah sebuah pengakuan. Ini tak lebih hanyalah ungkapan. Ini tak lebih hanyalah sebuah persambungan aksara. Tanpa pertimbangan anggapan. Tanpa pertimbangan justifikasi. Tanpa pertimbangan inteptetasi makna. Tanpa tendensi akan kejayaan sejarah masa lalu. Tanpa tendensi akan arkeologi pengetahuan. Tanpa tendensi akan kebenaran absolut. Demi sebuah ketidakjelasan. Demi sebuah harapan palsu. Demi sebuah pencapaian palsu. Demi sebuah pencarian palsu. Akan sebuah kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Bagaimana kejanggalan atas sebuah tragedy dan fenomena dipandang sebagai sebuah lelucon. Bagaimana sebuah persona (topeng) tidak lagi mewakili unsur semiotic yang mendeskripsikan topeng itu sendiri. Bagaimana sebuah batasan tak lagi menunjukan kualitas – kualitas yang sempurna melainkan hanya menjadi berhala yang mengalienasi. Bagaimana seni untuk mencari kenyamanan sesaat dalam penderitaan tanpa akhir dianggap naif. Bukankah itu disebut pengalaman survival ? Tapi ini semua tiada lain dan tiada bukan hanya demi sebuah kelangsungan tanpa sebuah kepentingan dan keberpihakan, tak lebih. Tapi bagaimanapun juga, disadari ataupun tidak ; ini pasti tak lepas dari kepentingan keinginan saya sebagai pribadi. Sebuah paradoks yang tak pernah lepas dari seseorang.

Jadi mengapa kita sebegitu seriusnya, sobat ? Bukankah segala hal yang dianggap lucu oleh seorang subjek adalah segala hal yang dianggap janggal oleh subjek tersebut? Apakah salah ketika seseorang tertawa saat melihat peristiwa kematian atau sadistic ? Apa benar jika selera humor yang agak menyimpang pada seseorang menunjukan gejala neurosis pada orang tersebut ? Lalu apa bedanya mereka dengan orang yang menertawakan dirinya sendiri ketika mengalami penderitaan maupun mengalami kegagalan? Bukankah tertawa itu berbeda dengan menertawakan ? Apakah tokoh antagonis terjahat yang pernah ada didunia ini tidak pernah atau tidak boleh tertawa? Why so serious, bro ?

Tapi demi kepentingan kelangsungan, alangkah bijaksannya bagi orang – orang yang belum mau melepaskan sejenak segala superego individu maupun collective, untuk tidak membaca ini semua. Tapi jika anda termasuk orang – orang tersebut dan berminat membaca, mintalah untuk didampingi orang tua anda, pemuka agama anda, pimpinan cultural anda ataupun pimpinan golongan anda. Tapi saya juga tidak menjamin bahwa anda yang merasa telah lepas dari segala super ego akan terhibur ataupun benar - benar tertawa.




"Manusia segera melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, perjuangan untuk hidup memerlukan kekuatan bukanya kebaikan, atau kebajikan, bukan rasa rendah diri melainkan keangkuhan, bukan altruisme melainkan kecerdikan. Demokrasi dan persamaan itu dekaden, karena bertentangan dengan proses seleksi dan survival. Bukan massa jelatahlah yang penting, melainkan segelintir jenius – jenius yang akan memimpin massa itu. Bukan keadilan melainkan kekuatanlah yang akan meninggikan umat manusia. Moral dan kebajikan (yang dalam kehidupan Nietzsche adalah moralitas Kristen) adalah berhala yang melemahkan umat manusia sehingga harus diberantas. Yang diperlukan bukanlah moralitas budak, melainkan moralitas aristrokrat, moralitas tuan yang kuat –kuasa. Inilah dasar pemikiran Nietzsche"
-Yayasan Bentang Budaya, Nietzche : Senjakala Berhala dan ANTI – Christ-



Sebelum kita membahas kutipan tulisan oleh yayasan bentang budaya tentang Nietzsche, mari kita simak tulisan pada symbol “Explicit content” yang tertera sebelumnya. Sejenak ada sesuatu yang terbelisit dalam kepala saya jika melihat symbol tersebut, tapi apapun itu; yang jelas pasti tak jauh – jauh dari sesuatu yang kontradiktif ataupun paradoks. Dari sana saya melihat, bagaimana sebuah realita bagi orang tua untuk anak - anak , dianggap sebagai sesuatu yang lebih berbahaya dari pada sesuatu yang tersirat (implicit). Sehingga seorang anak yang mengkonsumsi tayangan dengan label tersebut membutuhkan pendampingan oleh orang tua yang tentunya dianggap telah dewasa. Tapi saya juga tidak yakin benar jika semua orang tua itu benar – benar memiliki kedewasaan. Karena sejujurnya, saya tak melihat adanya korespondensi langsung antara bertambahnya usia dan bertambahnya tingkat kedewasaan. Atau bisa dibilang “Bertambah tua itu pasti tapi bertambah dewasa itu adalah sebuah pilihan.”. Tentunya akan menambah panjang pembahasan jika juga saya bahas mengenai fenomena anak – anak yang menjadi dewasa bukan pada waktunya. Tapi apapun itu, mari kembali pada label “explicit content”.

Jadi, seberbahaya itu kah sebuah tampakan realitas bagi perkembangan seorang anak ? Tapi, adakah orang tua yang mengajak bersama anaknya untuk menonton bersama tayangan dengan label tersebut ketika anak itu dianggap cukup umur? Atau dengan kata, pernyataan maupun esensi yang benar – benar lain, sejak kapan seorang anak yang beranjak dewasa itu berani melakukan sebuah pemberontakan atas (super ego) orang tua nya hanya untuk sekedar mengetahui lebih jauh tentang sesuatu yang taboo? Jadi bagaimana dengan anak – anak yang tak pernah melewati masa -masa itu? Mudah – mudahan anak – anak baik dan penurut yang disayang orang tua itu tidak akan pernah benar - benar melihat realitas taboo itu. Atau mereka akan menyesal karena pernah dilahirkan ke dunia. Sayangnya di negaraku tercinta ini; tempat saya mendekam sekarang ini, terlalu banyak orang yang terlau bahagia karena pernah dilahirkan ke dunia. Jadi apakah anda punya gagasan mengenai korelasi atas ini semua dengan krisis kepemimpinan yang belakangan terjadi di negara ini ?

Jika boleh mengungkapkan sesuatu yang berdasar pada memori tentang masa lalu saya, idealnya semenjak usia dini, seorang anak senantiasa disuguhi dengan berbagai hyperrealita yang sifatnya utopis, imajinatif dan sesuatu yang berhubungan dengan estetika yang sifatnya lugas. Estetika satu dimensi. Estetika mengenai kebahagian dalam kehidupan abadi. Serta sebuah harapan akan datangnya keajaiban. Yang disampaikan dalam bentuk dongeng maupun cerita menjelang tidur. Betapa seorang anak dikonstruk oleh pesan – pesan moral dogmatis maupun moral cultural yang sifatnya menjadi sebuah doktrin partikular.

Betapapun itu, adalah sebuah kebohongan terbesar dalam sejarah kemanusiaan adalah jika seseorang tidak boleh melakukan dosa. Kebohongan yang teroganisir dalam konstruksi pesan – pesan moral dogmatis. Tapi sadarkah kita pada saat dewasa, ketika melihat suatu bentuk estetika lain; estetika yang berlawanan dengan aspek – aspek moral, kita tidak akan merasakan ketakjuban melainkan merasakan sebuah ketakutan! Tapi kenapa bisa memiliki perasaan itu, padahal hal tersebut (estetika lain) adalah sesuatu yang cukup absah? Ketika ada hal – hal yang bertentangan dengan segala aspek moralitas, maka hal itu akan dipetentangkan, diperdebatkan lantas diperangi. Kasihan bangsa bar – bar itu, hanya merekalah yang kebrutalannya selama ini yang terexpose. Tapi menurut saya mereka jauh lebih baik mengingat apa yang mereka pilih (menjadi brutal) adalah atas dasar kesadaran. Tapi bagi mereka yang selain bar – bar dengan perilaku serupa, apakah perang itu menurutmu bukanlah dosa? Membunuh demi kebenaran bukanlah dosa. Berbohong demi kebenaran bukanlah dosa. Jadi kesimpulanya berdosa demi kebenaran adalah pahala. Ternyata betapa mulianya seorang pendosa. Jika memang benar seperti itu adanya, saya rasa ada yang salah dengan tuhan.

Sehingga jika kita lihat dari sisi yang lain, tidak ada sebuah perbedaan dari para penganut suatu keyakinan, simpatisan pergerakan, simpatisan partai, komunitas – komunitas yang memiliki ideologi , hingga supporter suatu kesebelasan sepak bola. Bagaimana untuk selanjutnya selalu sebuah vandalisme diambil sebagai resolusi terakhir. Mendebat sesuatu yang mereka tak tahu, atau bahkan tak akan pernah tahu. Memikirkan sesuatu yang tak akan pernah mereka alami. Mempertahankan sesuatu atas dasar keyakinan buta. Dan saya tak yakin benar apa sebenarnya yang mereka yakini. Memerangi sesuatu yang tak mereka ketahui, saya juga tak yakin kalau sesuatu tersebut perlu diperangi atau tidak. Mungkin ada perbedaan tingkat open-mind atas saya terhadap mereka hingga saya benar – benar tak memahami apa yang mereka anggap sedemikian pentingnya untuk dipermasalahkan. Jadi, sebenarnya apa gerangan yang sedang mereka semua lakukan? Kenapa mereka sebegitu seriusnya?

Jika benar itu dikatakan ada kaitanya dengan kebanggaan atas kejayaan masa lalu, saya benar – benar tak melihat korespondensi langsung atas sejarah pencapaian masa lalu dengan suatu kebanggan. Mereka berlagak seolah seorang sejarahwan yang bisa menembus ruang dan waktu. Mereka seakan memahami secara pasti apa yang dimaksudkan oleh orang – orang terdahulu. Sampai – sampai mereka tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Terlebih mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Lalu bagaimana mereka bisa mengenal orang lain sebegitunya ? Dan tentunya orang – orang yang dikenalnya berada di masa berbeda. Atau mungkin bisa jadi reinkarnasi itu memang ada, sehingga mereka adalah penjelmaan dari reinkarnasi orang – orang tedahulu. Tapi saya rasa, mereka lebih pantas bereinkarnasi menjadi detritivor maupun dekomposer yang mampu membusukan lalu menguraikan sampah organik yang ada dimuka bumi, setidaknya itu akan lebih tepat guna. Dari pada mereka susah payah membawa sampah busuk masa lalu untuk dibawa ke masa kini. Bukanya itu akan menambah masalah baru mengingat sekarang sudah terlalu banyak sampah plastik yang tak bisa diuraikan? Tapi betapapun itu bukankah sejarah itu adalah milik pemenang? Tahukah mereka bahwa sejarahwan itu terlalu banyak menoleh ke belakang? Sehingga mereka percaya dengan apa yang dibelakang. Jadi kenapa sekali – sekali kita tak berjalan seperti kepiting? Lalu hingga pada puncaknya dan menurut saya adalah sesuatu yang cukup gila dan mengerikan, mereka menaati dan mematuhi segala sesuatu atas dasar logika a priori. Dari hukum cultural, hukum agama, hukum negara hingga postulat matematis. Sehingga apa yang seharusnya jadi sikap kita? Kasihan kah? Atau marah akibat kenaifan mereka? Tapi ngomong – ngomong, apa bedanya kita dengan mereka? Kenapa kita sebegitu seriusnya?

Tetapi, mungkin mereka juga orang yang benar – benar teguh dalam memegang sebuah keyakinan akan sebuah kebenaran absolute. Mungkin mereka juga orang – orang yang sangat social. Orang -orang yang Sangat peduli dan memperhatikan sekitarnya. Bagaimana mereka senantiasa bisa menghina ketika ada orang yang merintis sesuatu. Menertawakan sekencang - kencangnya sebuah usaha yang disebutnya tak mungkin maupun absurd. Sebuah usaha dalam membuat sebuah inovasi. Sebuah usaha dalam menciptakan gebrakan perubahan. Apakah benar ada sesuatu yang tak mungkin itu ? Hanya ikut bangga dan bersorai ketika ada seseorang mencapai keberhasilan. Jadi apakah ada ide lain, kenapa banyak ilmuwan – ilmuwan hebat negeri ini berbondong - bondong pindah ke luar negeri ?

Apakah memberikan sedikit apresiasi adalah benar - benar menghilangkan motivasi seseorang? Sehingga dengan menghina dan menginjak – injak harkat dan martabat orang – orang hebat itu adalah sebuah jalan terbaik dalam memberi motivasi. Hingga orang – orang hebat itu merasa terasing dan putus asa adalah dirasa cukup. Apakah secercah harga diri semu (tidak ingin kalah) itu jauh lebih penting dari sebuah kelangsung tatanan yang lebih baik? Tapi satu hal yang saya yakini, bahwa orang – orang hebat itu adalah orang – orang yang menghargai sebuah memori. Jadi tidak tertutup kemungkinan kalau mereka menyimpan dendam berlebih, jadi sebaiknya berhati – hatilah terhadap mereka, jika anda pernah secara sengaja maupun tidak dalam melakukan itu semua. Tapi tahukah anda bahwa seekor cacing akan menggeliat jika diinjak, itu ia lakukan agar tak diinjak lagi. Dan itu cukup briliant menurutku, untuk hewan yang tak memiliki otak; setidaknya dia tahu diri !

Atau bisa jadi hal itu juga dikarenakan sebuah tradisi mengenai penghormatan berlebih kepada golongan tua. Kepada yang merasa memiliki pengalaman lebih. Kepada mereka yang selalu masa kini tak pernah lebih baik dari masa lalu. Mereka yang seakan – akan bisa menunjukan sebuah perspektif yang terbaik dan terbenar. Mereka yang merasa dirinya paling berhak dalam melakukan segala justifikasi. Mereka berlagak seolah tuhan dalam bentuk yang lain. Sehingga pada kasus – kasus tertentu, beberapa dari mereka memiliki sebuah hasrat untuk dipuja maupun disembah. Tapi saya rasa mereka hanya orang – orang dengan kontribusi minim tapi berjuta - juta expectasi. Jadi apa perlu pengalaman hebat mereka yang mampu “ menggegerkan dunia ” itu (kalau memang sepeti itu) menjadi titik acuan kita sehingga kita juga harus melewati fase pengalaman yang sama dengan mereka ? Atau dengan kata lain jika mereka dulu pernah menderita, kita juga harus mengalami penderitaan yang sama. Lalu apa hubunganya pengalaman hebat mereka, justifikasi mereka, penderitaan masa lalu mereka dan apa yang kita alami ? Tahukah kita apa yang menjadi semangat pengorbanan segala – galanya di masa kini demi masa mendatang itu? Bukankah arahannya agar tidak ada lagi orang – orang yang menderita seperti kita di masa kini pada masa mendatang? Saya rasa mereka benar – benar butuh obat untuk menekan hormon super ego mereka yang begitu berlebih.

Ada yang tahu apa fungsi cermin? Saya rasa orang – orang sekarang lebih suka menggunakan spion. Sayangnya, alat itu lebih effisien jika digunakan melihat noda coreng di wajah orang yang berada jauh di belakang kita. Itu tidak dirancang untuk melihat kotoran (feses) yang menempel di wajah kita sendiri. Atau mungkin, kita yang terlalu takut untuk melihat refleksi bayangan kita sendiri pada cermin ? sehingga kita bisa melihat realitas busuk atas diri kita sendiri. Mereka lebih senang mengingat sebuah kesalahan kecil, kesalahan yang membuat seseorang belajar, ketimbang sebuah kontribusi. Mungkin mereka terlalu sosialnya sehingga mereka menjadi sosiopatic. Tak pernah menyadari dan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pembunuhan. Entah itu pembunuhan karakter, pembunuhan mimpi, hingga pembunuhan fisik yang membuat seseorang tak lagi hadir di dunia. Jadi menurut anda, lebih kejam mana antara mereka dan seorang psikopat legendaris yang dikenal sebagai jack d’ripper? Agaknya ini merupakan pilihan yang cukup sulit. Make your choice!

Tapi alangkah lebih bijaksananya, jika menghormati itu bukan hanya karena sekedar perbedaan usia maupun tradisi yang dipaksakan. Tapi lebih berdasar pada pilihan sadar karena tahu diri dan terima kasih terhadap sebuah memory akan kontribusi sekecil apapun yang pernah dilakukan oleh seseorang. Tapi agaknya hal itu akan selalu menjadi utopia dan tak lebih hanya menjadi sebuah angan – angan yang tidak kesampaian. Mengingat, si tua bangka, narsis, tolol, hedonis, serakah, psikopat dan tak tahu diri itu, kini berada di atas. Dan atas dasar suka – suka, mereka memilih penerus (golongan muda) yang merupakan tiruan sempurna atas dirinya untuk menjadi penggantinya. Betapa teroganisirnya mereka ! Atau ini tak lebih karena tak ada yang tak seperti itu? Mungkin sungguh tidak fair jika membuat justifikasi itu. Marilah berbaik sangka ! Jadi, mungkin mereka cuma lupa tempat meletakan otak, hati dan alat inderanya di suatu tempat. Atau mungkin mereka cuma lupa cara menggunakanya. Kalaupun bukan itu semua, ini tak lebih hanya kurangnya pemahaman saya akan niat mulia mereka. Why so serious ?

Tak kusangka betapa susahnya untuk bertanya jika kita memang tak tahu. Betapa sulitnya untuk mengakui dan meminta maaf atas kesalahan – kesalahan kita. Betapa beratnya hanya sekedar sedikit memahami keterbatasan orang lain. Tak kusangka melakukan segala sesuatu secara fair seolah sebegitu profetiknya. Tak kusangka juga ternyata, sebuah dongeng mempunyai power yang benar – benar bersifat kreatif yang mampu merepresi seseorang. jadi, apa perlu cerita fabel, epos dan lain – lain yang diperdengarkan di usia kanak – kanak diganti dengan cerita tragedi misteri yang sangat rasional ? sehingga ketika anak – anak itu beranjak dewasa, mereka akan merasa takut dengan cerita fabel dan logika a priori ? Saya rasa itu tidaklah cukup. Saya merasa bahwa realitas bukan sesuatu yang patut disembunyikan. Adapun istilah bahwa “ kamu belum saatnya.”, menurut saya adalah bentuk kesombongan yang lebih dibanding kesombongan manusia sebagai makhluk sempurna. Sebenarnya saya sama sekali tak memahami pernyataan itu. Tapi yang saya tahu, kita juga sama – sama tak tahu mengenai “saat” yang pasti atas kehadiran kita (hidup). Sekali lagi, sepertinya syndrome sok tuhan kembali mewabah untuk selanjutnya mejangkiti umat manusia. Entah mengapa saya terblisit sesuatu yang di katakan oleh Karl Marx dan saya rasa ini cukup populer, “ Bahwa agama adalah candu masyarakat.”. tapi setidaknya, marx berpihak pada dirinya sendiri, sedangkan yang lain berpihak padanya. Untungnya saya lebih inkonsisten ketimbang mereka, andai saja aku benar – benar konsisten terhadap itu.

Tapi sepertinya hal itu hanya berkaitan pada bangsa tertentu saja. Bangsa yang punya segalanya tapi tidak pernah benar - benar memiliki segala sesuatunya. Tentunya bangsa itu adalah bangsa kolot (konservatif) yang lumayan tertinggal dan memiliki hobby menjual sumber daya-nya yang melimpah secara cuma - cuma. Mereka adalah bangsa yang sangat dermawan, bahkan mereka rela membayar hutang para pengusaha yang mengeruk keuntungan secara melimpah dari sumber daya mereka sendiri, hak mereka sendiri; Tatkala mereka sendiri kekurangan. Kali ini saya seolah melihat tipisnya batas antara kebodohan dan kebaikan itu. Atau mungkin ini tak lebih karena mereka masih hijau ?

Mereka lebih bangga tatkala menjadi konsumen ketimbang menciptakan sebuah magnusopus. Konsumsi demi komoditas life style dirasa lebih diutamakan ketimbang kualitas pola perilaku dan pola pikir. Mereka juga terbiasa meminimal-kan potensi yang maksimal. Karena pada kondisi tertentu (pemenuhan hasrat identitas), mereka rela membeli barang – barang yang mereka tak tahu untuk apa mengkonsumsinya maupun bagaimana cara mengkonsumsinya. Mereka adalah sebuah bangsa yang lebih percaya dengan apa yang terlihat (tampakan luar) dari pada sebuah esensi mendalam. Sungguh kontradiktif, padahal mereka notabene adalah sebuah bangsa yang meyakini sesuatu yang tak terlihat yang berdasar pada sebuah kitab yang berisi penuh pesan – pesan dogmatis yang bersifat implicit; dikatakan pula bahwa jumlah mereka adalah yang terbesar didunia. Dikatakan pula , mereka benar- benar Anti terhadap komunisme, karena mereka mampu mensikritisme–kan antara atheis dan komunis. Tapi ternyata, mereka juga realis (seeing is believing); nyatanya mereka lebih mengagumi orang –orang yang tampak hebat ketimbang orang yang tulus dalam bersumbangsih. Mereka baru akan merasa kehilangan sesaat, ketika mereka benar - benar di-tinggal-kan orang – orang hebatnya. Sedang mereka merasa tak memiliki ketika orang- orang hebat itu ada. Mungkin hal itu disebabkan oleh tidak terlihat bergunanya tentang apa - apa yang dilakukan orang – orang hebat ketika ada menurut mereka . Betapa berkarakternya dan realisnya bangsa itu. Sungguh mengagumkan, mereka tahu diri dan tahu prioritas !

Mereka juga memiliki beberapa kualitas lebih selain yang tersebut sebelumnya. Seperti lebih suka menjadi budak bangsa asing dari pada menjadi tuan. Lebih memilih membuang mimpi dan idealismenya hanya untuk sekedar jenjang karir. Lebih bangga menjadi budak multinasional ketimbang membuat usaha di atas kaki sendiri. Lebih suka membicarakan perubahan tapi tidak suka melakukanya. Lebih suka perdebatan tak berarti, ketimbang usaha kongkret dalam membangun ataupun merintis usaha. Lebih sibuk mementingkan eksistensi diri dari pada kemajuan bersama. Lebih menganggap kehebatan orang lain (orang sebangsa) adalah sebuah ancaman berarti. Mereka lebih sebagai bangsa yang teralienasi. Bangsa yang cukup puas karena telah dialienasi lebih tepatnya. Dan satu hal yang agak ironis, mereka kini lebih mengusahakan merintis sebuah usaha agar menjadi bangsa yang dipandang, ketika bangsa lain sibuk memikirkan bagaimana menyelematkan dunia dari kehancuran. Entah mereka terlalu maju atau terlalu tertinggal? Mereka sepertinya adalah bangsa yang suka bermain – main dengan batasan. Sayangnya sepertinya sekarang mereka terlalu terlewat batas. Atau mungkin saya yang agak berlebihan, Why so serious ?

Mungkin sekarang adalah waktu yang cukup tepat untuk kembali kepada kutipan yayasan bentang mengenai Nietzsche di awal tadi. Mungkin kutipan tersebut bagi banyak kalangan tak memiliki makna yang penting. Tentunya hal itu akan terkesan sangat sarkastik bagi anak kecil yang membacanya. Mungkin bagi sebagian kalangan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang amoralistik. Tentunya juga sangatlah gawat jika hal itu ditelaah secara mentah – mentah entah oleh orang dewasa maupun oleh anak – anak. Dan sepertinya, gambaran singkat mengenai deskripsi bangsa yang tersebut sebelumnya , mendekati keadaan jerman pra perang dunia pertama. Ketika bangsa lain sibuk memamerkan hasil riset tekhnologi senjata mutakhir, bangsa jerman hanya bisa memamerkan barang seni yang tak bernilai. Hingga seorang Adolf Hitler menelaah secara mentah – mentah apa yang diutarakan oleh Nietzsche. Mungkin kurang lebihnya (yang di telaah hitler) seperti apa yang menjadi kutipan yang telah tertera sebelumnya. Dan Hitler telah benar – benar mengubah wajah jerman; pasca Bismark (dengan kerajaan prusia-nya). Tapi apa perlu kita melakukan hal sama dengan apa yang dilakukan oleh Hitler? Jika keledai tak pernah jatuh kelubang yang sama dua kali, apa sebutan yang pantas untuk makhluk yang jatuh kelubang yang sama tiga kali ?

Mungkin ketika saya pertama kali membaca kutipan tersebut pada usia 12 tahun, saya merasa itu adalah sebuah kebenaran tentang manifestasi will to power untuk menjadi seorang ubermensch (manusia unggul). Mungkin beberapa tahun setelahnya saya cenderung memandangnya sebagai bentuk absurd nya sebuah kehidupan dan palsunya moralitas dogmatis itu. Mungkin pada saat ini, saya merasa itu bukan pemikiran Nietzsche; melainkan itu tak lebih hanya hasil penelaahan pengarang. Pengarang yang mengkonsumsi hasil pemikiran seorang Friederich Nietzsche. Betapa lamanya proses prameditasi yang saya lakukan demi sebuah pemahaman. Pemahaman yang menuntun saya dalam berpikir dan bertindak.

Setidaknya ada sebuah batasan yang harus selalu saya taati, yaitu bahwa setidaknya saya harus tahu benar dan sadar atas apa yang saya lakukan maupun saya pilih. Jika ingin jahat, maka jahatlah melebihi Lucifer (kalau tidak salah ia semacam raja setan yang menjadi icon kejahatan yang cenderung amoral) ! Jika ingin baik, maka baiklah melebihi Gabriel (kalau tidak salah ia semacam malaikat yang penuh cinta kasih dan sangat taat kepada tuhan) ! Bukankah kita manusia (kalau tidak salah ia semacam makhluk tak terdefinisi, kalaupun ada yang mencoba mendeskripsikannya adalah ilmu psikologi; itu pun terkadang banyak hal yang mengada - ada) ? Bukankah kita bebas memilih dan menjadi sesuai yang apa kita inginkan? Bukan menjadi apa yang dijanjikan.

Hal yang telah saya sebut sebelumnya tak lebih hanyalah sebuah penggalan pengalaman tanpa arti. Setidaknya saya hanya mencoba menunjukan bagaimana saya mendapati arti penting mengenai berharganya waktu dalam proses prameditasi itu sendiri. Jadi menurut hemat saya, sangatlah riskan jika bangsa yang telah saya deskripsikan secara singkat sebelumnya; membicarakan blueprint mengenai long-therm-plan dalam rangka membuat kebijakan Negara, hanya dalam kurun waktu beberapa hari (2 hari lebih tepatnya). Terlebih mereka ingin memblow-up isu - isu sentral dalam tatanan global, membahas akselerasi riset dan tehnologi, hingga intregasi seluruh pelajarnya di penjuru dunia untuk menciptakan sebuah counter – hegemoni (ala Gramsci lebih tepatnya) dalam rangka membuat bargaining positition lebih bagi bangsa itu sendiri. Bisa jadi, hal tersebut diilhami oleh para pendahulu mereka yang memang menurut saya benar – benar hebat. Pendahulunya yang mampu mendirikan Negara dan kelengkapan kedaulatanya dalam tempo yang sesingkat – singkatnya. Atau mungkin, hal itu diilhami oleh mitos kuno mengenai kemampuan nenek moyang mereka dalam membangun 1000 candi dalam satu malam. Kira – kira, seperti apa tanggapan Lenin jika ia tahu bahwa ada bangsa yang ingin menciptakan peristiwa revolusioner tanpa konsepan revolusioner ? Apakah mereka yakin dengan apa yang mereka katakan mengenai counter-hegemony gramsci hanya dengan persiapan selama 2 hari ? Sepertinya peradaban mereka sedang sakit. Benar – benar, mereka hyper reaktif dan hyper sporadis.

Padahal sepenangkapan saya, selain itu kritik utama Gramsci adalah mengenai masyarakat komunis utopia Marx bukanlah dalam tatanan masyarakat suatu Negara, melainkan dalam tatanan masyarakat global (internationale) tentunya dalam kaitanya dengan sebuah counter - hegemony . Dan apapun itu, menurut saya hal itu revolusi (internationale) tak pernah terjadi selain apa yang pernah diklaim di daerah amerika selatan. Dan terlebih lagi, sepengetahuan saya; negara tersebut memiliki undang – undang dan sebuah ketetapan mengenai penolakan keras terhadap segala unsur yang berbau komunisme. Tapi yang jelas, merekalah yang lebih tahu tentang apa yang mereka katakan sendiri, semoga memang begitu adanya. Agaknya, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Ngomong – ngomong mengenai isu sentral, adakah isu kekinian yang lebih sentral dari masalah global warming ? Saya rasa hal itu cukup krusial dan berkorespondensi langsung dengan kelangsungan perdaban di bumi. Mengingat itu merupakan petanda bakal binasanya bumi kita dalam 3 - 4 dekade kedepan tanpa konservasi lingkungan secara intensif. Singkatnya jikalau mereka berhasil menjadi bangsa yang agung dan adikuasa, mereka akan menetap dimana? Atau itu mungkin akan benar – benar terwujud, dengan prasyarat yang wajib dipenuhi adalah jika bangsa - bangsa yang besar pada saat ini, telah bermigrasi ke planet lain kala itu. Ada yang sedang mengidap neurosis akut sepertinya ! Mungkin, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Saya rasa, untuk saat ini membicarakan mengenai counter-hegemoni dalam rangka membuat sebuah revolusi, cukup kurang relevan (sudah terlanjur basi) rasanya. Mengingat telah lewat 1 dekade lebih semenjak dianutnya the third way-nya (Anthony Giddens) oleh bangsa – bangsa maju (welfare state country) dan adidaya yang terang - terangan menggemborkan matinya dualitas. Menurut hemat saya, revolusi dalam aspek sosio-cultur yang pernah benar – benar terjadi hanyalah revolusi industry. Dan tahukah anda, hal itulah yang menjadi cikal bakal terjadinya permasalahan global warming pada saat ini. Dan tentunya pula, sudah terlanjur bersarang laba – laba, berakar, berlumut, hingga memfosil jika bangsa itu masih menginginkan akselerasi riset dan tehnologi untuk tujuan itu (revolusi industri). Terlebih secara bahan baku, bangsa itu masih bergantung dengan bangsa lain (mereka tidak dapat memproduksi sendiri). Dan terlebih lagi pengalaman riset dan tekhnologinya hanya tertinggal selama 4 dekade dari bangsa – bangsa maju. Kemana saja mereka ? Sehingga, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Dan satu hal yang cukup menarik bagi saya adalah masalah intregasi para pelajar bangsa itu yang sedang mengenyam pendidikan di negeri lain yang lebih maju. Rasa - rasanya cukup sia – sia jika implementasi riil dari intregasi itu sendiri adalah hanya sekedar kumpul - kumpul dalam penyuluhan. Lebih ironis lagi jika ternyata mentalitas mereka tak sama ubahnya dengan pelajar lokal yang memiliki cita – cita mulia untuk mengabdi kepada perusahaan multinasional. Bagaimana kalau mereka membuat serikat pekerja saja, ketimbang mereka repot – repot membicarakan globalisasi sebagai seorang negarawan dadakan; kalau toh hasil akhirnya juga sudah pasti. Saya rasa, kuantitas mereka ( pelajar luar ) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan para pelajar yang berada di dalam negeri. Tapi setahu saya, mereka dianggap ancaman oleh para pelajar lokal mengingat image dan reputasinya sebagai produk luar negeri. Merekalah (yang menurut para pelajar lokal itu) yang akan menghabiskan seluruh kursi jajaran top management, ketika kembali nantinya. Saya rasa, pekerja dengan penghasilan tertinggi dalam sebuah perusahaan tak akan pernah menjadi lebih kaya dari pemilik perusahaan. Pekerja tetaplah pekerja. Proletar adalah proletar. Jadi perbedaan antara produk dalam dan luar adalah pada added valuenya. Walaupun si produk luar tentunya akan lebih menyadari surplus value atas dirinya, sehingga upah nya akan sedikit lebih mahal tapi dengan kualitas lebih. Bukan nya kaum intelektual seperti mereka semua lah yang bertanggung jawab dengan ketersediaan lapangan kerja negeri itu? Bukanya mereka yang di luar itu juga bertanggung jawab terhadap transfer keilmuan dalam rangka akselerasi riset dan tehnologi ? Dan untuk kesekian kalinya, sudah terlalu terlambat untuk menjadi pesimistik.

Bangsa dan Negara itu adalah Indonesia. Negara dengan potensi populasi penduduk sebesar 200 juta. Negara yang memiliki keanekaragaman kultur. Negara yang benar – benar kaya potensi sumber daya alam. Negara yang memiliki wilayah perairan luas. Negara yang memiliki hutan luas sebagai paru – paru dunia. Sayangnya, tidak ada yang sadar bahwa indonesia memiliki potensi yang sangat besar dari itu semua. Sayangnya, tidak ada will to power dalam diri bangsa Indonesia. Sayangnya, tidak ada lagi orang – orang hebat sekaliber para founding father mereka. Sayangnya, para ilmuwan dan pakar hebat mereka telah terlanjur merasa tersing dan pada bepergian. Sayangnya, tidak ada yang merasa bertanggung jawab, atas apa yang tidak dapat dilakukan bangsa Indonesia dengan potensi sebesar itu. Dan sayang sungguh sayang, tidak ada lagi yang merasa memiliki bangsa ini. Jadi, lakukan yang bisa kau lakukan ! Katakan yang ingin kau katakan ! Sejarah tinggalah sejarah ! Mimpi tinggalah mimpi ! So, Why so serious ? Dan tinggal berharap pada keajaiban, seperti yang terkisah pada dongeng masa kecil kita yang indah,…



referensi :
  • Algoritma dan memory otak Saya
  • Penangkapan Audio Visual saya dalam bentuk pengalaman
  • Apa yang saya rasakan dari hasil pengindraan saya
  • Manifestasi Keinginan – kenginan saya
  • Kekecewaan, kegagalan, keterhinaan, keterasingan, ketidakpuasan, kesendirian, ketiadaan dan kegelapan yang mungkin jadi refleksi sebuah cermin objektif bagi evaluasi kehidupan saya
  • Sikap dan pemikiran skeptic saya
  • Pencitraan imajiner atas diri saya dan sekitar
  • Segala sesuatu yang saya anggap menggelikan
  • Segala hal yang tidak saya sebutkan


tulisan ini dalam rangka menanggapi hal ini :

covernya
Cover Proposal SI PPI Dunia 2010

isinya
Proposal SI PPI Dunia 2010




Rabu, 06 Januari 2010

Nothing than the absurdity of God (^_^)

"Belajar menulis", gag semua yang lo baca ini bener ! ha..ha..ha

The gods had condemned Sisyphus to ceaselessly rolling a rock to the top of a mountain, whence the stone would fall back of its own weight. They had thought with some reason that there is no more dreadful punishment than futile and hopeless labor.
-Albert Camus : The Myth of Sisyphus


Sebuah harapan akan hari esok yang lebih baik. Harapan akan pencapaian tertinggi dalam kehidupan. Harapan akan datangnya pencerahan (aufklarung) . Harapan akan datangnya juru selamat bagi umat manusia. Harapan akan adanya keadilan sejati. Harapan akan datangnya sebuah hari pembalasan ( judgement day) . Harapan akan kebahagiaan sejati dalam kehidupan setelah mati (after life). Harapan untuk menemukan kebenaran absolute atas hakekat eksistensi manusia. Dan segala harapan akan sesuatu yang dijanjikan. Sampai kapankah umat manusia akan terus – menerus berharap? Bagaimana seandainya jika segala harapan adalah sesuatu yang tidak pernah ada (nothing)?

Sesuatu yang tanpa disadari telah menginstitusi umat manusia kedalam aktivitas rutin dalam mencapai dan memenuhi harapanya. Sebuah hegemoni aktivitas sosio-cultur masyarakat kontemporer di akhir era posmodern yang terproyeksikan dalam bentuk career atau segala aktivitas rutin yang membuat seseorang berkutat dalam involusi maupun stagnasi. Mungkin bentuk pola aktivitas ini hanyalah imbas dari superstruktur yang ada. Pola ini akan cenderung bersifat temporer dan berubah relative terhadap struktur dominan yang ada. Jika pola ini dipandang dari sebuah perspektif pada skala yang lebih besar, kita akan mendapati hal yang sama pula pada pola perkembangan arus sistematika zaman .

Kita bisa melihat penghujung dark age setelah munculnya seorang Descartes dengan rasional anthropomorfis - nya. Bagaimana zaman modern secara sosio - culture dimulai dari sebuah revolusi Industri di Inggris. Zaman posmodern dengan revolusi tekhnologi informasinya. Dan penghujung era posmodern akibat isu ekologi. Sebuah zaman yang memiliki katalisator sebagai identitasnya. Sebuah zaman yang berjalan lambat. Sebuah zaman yang berjalan sangat cepat. Sebuah zaman yang mengalami lompatan sejarah secara exponensialnya untuk menuju titik extrimnya. Sebuah zaman tanpa arah untuk selanjutnya turun drastis secara exponensial dari titik extrimnya. Sebuah kemajuan yang membawa akhir bagi zaman itu sendiri. Tidak hanya umat manusia, apakah sang zaman juga telah ter-institusi dan ter-alienasi?

Benarkah bahwa sejarah tak pernah berulang? Benarkah bahwa sejarahwan-lah yang telah mengulang-ulang sejarah? Bukankah ini yang dimaksud oleh albert camus sebagai moment of lucidity (momen kecerahan)? Ataukah hal ini yang di maksudkan oleh adagium Nietzsche sebagai perulangan abadi (die ewige Wiederkehr des Gleichen) ? Tapi yang jelas, manifestasi harapan berupa absurditas tak pernah berubah seiring dengan perubahan zaman. Dan perjalanan umat manusia dalam mengarungi aliran waktu tak sama ubahnya dengan yang dilakukan seorang sisifus terhadap hukuman yang diberikan oleh para dewa. Apakah benar asumsi para dewa bahwa kesia – siaan dan penyesalan tanpa akhir lah yang bakal dirasakan oleh sisifus?

Entah sudah tercapai atau tidak sebuah harapan; hingga pada suatu ketika, saat apa yang telah dilakukan seseorang disadari sebagai sebuah kesia-siaan dan kegagalan . Mereka seakan melihat kegelapan telah datang ke dunia untuk kembali memainkan peran sentralnya sebagai pembawa akhir atas segala sesuatu. Harapan telah menjadi sebuah absurditas absolute untuk selanjutnya dipersalahkan. Mereka yang tidak dapat menerima absurditas sebagai sebuah realita kehidupan akan melakukan tindakan berupa bunuh diri sebagai upaya penolakan atas absurditas dan kekecewaan akibat sebuah kegagalan dan ketersia-siaan. Padahal tindakan bunuh diri tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah jalan pelarian para pengecut dari absurditas kehidupan serta semata hanyalah sebagai alasan pembenaran . Hal ini juga didapati sebagai salah satu implikasi dalam suatu tindakan bunuh diri.

Semakin tertekan seorang individu maka individu itu akan semakin kuat. Individu – individu yang kuat itu adalah invidu – individu yang dapat menerima segala bentuk absurditas sebagai bagian dari hakekat eksistensi kehidupan. Individu yang memandang betapa absuditas adalah sebuah nilai yang sangat berharga bagi kehidupan. Nilai yang membuat seorang individu menghargai kehidupan ( amorfati ) . Nilai yang membuat seorang invidu rela mengorbankan segala-galanya demi kehidupan individu - individu lain di masa mendatang. Nilai yang disadari ketika memandang sebuah moment akan divergensi di dalam eternal recurrent.

Hingga pada suatu ketika, sang sisifus berada di puncak gunung dan untuk selanjutnya mengamati batu besar yang di bawanya dengan penuh penderitaan dan ketersiksaan itu; menggelinding karena bebanya sendiri ke bawah. Dan ia menyadari bahwa aktivitasnya akan berlangsung secara kekal. Betapa serangkaian penderitaan, ketersiksaan, kekecewaan dan kegagalan yang telah menimpanya disikapinya secara dewasa; bagaimana hal itu menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi . Betapa pandanganya telah membebaskan dirinya dari belenggu absurditas. Dengan memandang bahwa perjalanannya dalam menopang batu menuju puncak gunung adalah sebuah perjalanan yang kiranya cukup untuk mengisi hati. Mendapati absurditas sebagai sesuatu yang absolute dan riil, untuk selanjutnya memaafkan dan berdamai terhadap segala sesuatu atas dirinya. Kiranya hal ini adalah cukup untuk meruntuhkan dan menghancurkan kerangka dan fondasi sistem masyarakat modern yang berupa paradigma hidup instan dan effisien.

Ketidaksadaran dan penolakan terhadap absurditas yang salah satunya termanifestasi dalam bentuk harapan, telah menjelma sebagai alienasi dan telah menghegemoni umat manusia. Dan hal ini diperparah oleh para reduksialis dan para aktivis pergerakan yang hanya berlandaskan keberpihakan pada suatu kepentingan demi sebuah kekuasaan dengan sebuah harapan profetik akan sebuah tatanan yang sempurna dalam keteraturan yang meniadakan perbedaan . Mereka menabuh genderang perang terhadap ketidakjelasan (l’obscurité). Apakah ketidakjelasan adalah sesuatu yang perlu diperangi, dipertentangkan lantas dipersalahkan?

Sudah saatnya umat manusia memberontak terhadap segala keterikatan bawah sadar baik historis maupun metafisik untuk selanjutnya menerima dengan rela bahwa absurditas adalah " sinar gelap" yang membuat manusia senantiasa berjuang untuk menentukan sendiri kecerahan (la lucidité) atas dirinya sendiri yang berdasar pada keinginannya sendiri. Sehingga hal tersebut disadari sebagai sebuah insting untuk hidup (erros). Hal yang melahirkan sebuah semangat pengorbanan demi kelangsungan kehidupan - kehidupan lain di masa mendatang. Hal yang diawali dari sebuah cara pandang dan penyikapan terhadap keagungan akan perbedaan secara bebas. Hal yang tanpa diawali prameditasi tetapi berlandaskan sebuah “semangat penelaahan bebas” dengan dibawah kendali penuh asas kesadaran. Untuk selanjutnya menjadi manusia – manusia unggul ( ubermensch ). Karena telah menjadi manusia yang menemukan kesempurnaan lewat menyadari batasan maupun kelemahanya. Dan mereka dengan dewasa telah memaafkan dan jujur terhadap dirinya sendiri. Mereka lah orang -orang yang merasa mengemban sebuah tanggung jawab besar ketika mereka memiliki kebebasan dan kekuatan yang besar pula.

Betapapun itu, ketika seseorang dengan kesadaran penuh mau menerima, meng"iya"kan dan berani mengahadapi tantangan nyata sebuah absurditas serta senantiasa berjuang dengan semangat untuk melakukan yang terbaik adalah dirasa cukup. Sehingga membuat seseorang menjadi mencintai dan menghargai kehidupan (amorfati) Tak perlu lagi mempertentangkan keyakinan transendental, filsafat, sains, ideologi dan hal – hal lain untuk selanjutnya mencari –cari korespondensi maupun korelasi terhadap makna akan kehidupan. Mungkin, hal tersebut bisa dimulai dari belajar berkeinginan, belajar melihat dalam menyadari suatu perbedaan, serta belajar mempertanyakan segala sesuatu secara skeptis (kebenaran adalah tidak ada). Dan untuk selanjutnya diikuti dengan sebuah " semangat penelaahan bebas " dalam prosesnya. Bagaimana mitos dari seorang sisifus mampu memberikan ilham dan inspirasi umat manusia dalam memandang dan menyikapi realisme , eksistensi dari absurditas itu sendiri. Apakah hal ini yang dimaksudkan oleh Jean-Paul Sartre sebagai "Man is condemned to be free" ? Sehingga sisifus telah membawa para dewa yang menghukumnya kedalam belenggu absurditas. Tapi, apakah sisifus telah benar - benar menemukan kebahagiaan sejatinya?


Sebuah Subjektivitas penulis

We are given a choice,..
We are given the possibility,…
And it will be over and over again,…
We can't do nothing,..
Except only stepping,...
Or just tracing another left step,..
On the never ending desert,..

But this journey enough to fulfill our heart,..
Just accept this destination,…
Just do your best what you can do,..
Just for carrying to each other,..
Keep fight for your freedom,…
Use your freedom to protect,..
then let the life going to be ,…

Life is gambling
Life is mistake
Life is suffer
Life is absurd
My life mean nothing
But my life journey mean every things

Mother tongue

Share