Rabu, 06 Januari 2010

Nothing than the absurdity of God (^_^)

"Belajar menulis", gag semua yang lo baca ini bener ! ha..ha..ha

The gods had condemned Sisyphus to ceaselessly rolling a rock to the top of a mountain, whence the stone would fall back of its own weight. They had thought with some reason that there is no more dreadful punishment than futile and hopeless labor.
-Albert Camus : The Myth of Sisyphus


Sebuah harapan akan hari esok yang lebih baik. Harapan akan pencapaian tertinggi dalam kehidupan. Harapan akan datangnya pencerahan (aufklarung) . Harapan akan datangnya juru selamat bagi umat manusia. Harapan akan adanya keadilan sejati. Harapan akan datangnya sebuah hari pembalasan ( judgement day) . Harapan akan kebahagiaan sejati dalam kehidupan setelah mati (after life). Harapan untuk menemukan kebenaran absolute atas hakekat eksistensi manusia. Dan segala harapan akan sesuatu yang dijanjikan. Sampai kapankah umat manusia akan terus – menerus berharap? Bagaimana seandainya jika segala harapan adalah sesuatu yang tidak pernah ada (nothing)?

Sesuatu yang tanpa disadari telah menginstitusi umat manusia kedalam aktivitas rutin dalam mencapai dan memenuhi harapanya. Sebuah hegemoni aktivitas sosio-cultur masyarakat kontemporer di akhir era posmodern yang terproyeksikan dalam bentuk career atau segala aktivitas rutin yang membuat seseorang berkutat dalam involusi maupun stagnasi. Mungkin bentuk pola aktivitas ini hanyalah imbas dari superstruktur yang ada. Pola ini akan cenderung bersifat temporer dan berubah relative terhadap struktur dominan yang ada. Jika pola ini dipandang dari sebuah perspektif pada skala yang lebih besar, kita akan mendapati hal yang sama pula pada pola perkembangan arus sistematika zaman .

Kita bisa melihat penghujung dark age setelah munculnya seorang Descartes dengan rasional anthropomorfis - nya. Bagaimana zaman modern secara sosio - culture dimulai dari sebuah revolusi Industri di Inggris. Zaman posmodern dengan revolusi tekhnologi informasinya. Dan penghujung era posmodern akibat isu ekologi. Sebuah zaman yang memiliki katalisator sebagai identitasnya. Sebuah zaman yang berjalan lambat. Sebuah zaman yang berjalan sangat cepat. Sebuah zaman yang mengalami lompatan sejarah secara exponensialnya untuk menuju titik extrimnya. Sebuah zaman tanpa arah untuk selanjutnya turun drastis secara exponensial dari titik extrimnya. Sebuah kemajuan yang membawa akhir bagi zaman itu sendiri. Tidak hanya umat manusia, apakah sang zaman juga telah ter-institusi dan ter-alienasi?

Benarkah bahwa sejarah tak pernah berulang? Benarkah bahwa sejarahwan-lah yang telah mengulang-ulang sejarah? Bukankah ini yang dimaksud oleh albert camus sebagai moment of lucidity (momen kecerahan)? Ataukah hal ini yang di maksudkan oleh adagium Nietzsche sebagai perulangan abadi (die ewige Wiederkehr des Gleichen) ? Tapi yang jelas, manifestasi harapan berupa absurditas tak pernah berubah seiring dengan perubahan zaman. Dan perjalanan umat manusia dalam mengarungi aliran waktu tak sama ubahnya dengan yang dilakukan seorang sisifus terhadap hukuman yang diberikan oleh para dewa. Apakah benar asumsi para dewa bahwa kesia – siaan dan penyesalan tanpa akhir lah yang bakal dirasakan oleh sisifus?

Entah sudah tercapai atau tidak sebuah harapan; hingga pada suatu ketika, saat apa yang telah dilakukan seseorang disadari sebagai sebuah kesia-siaan dan kegagalan . Mereka seakan melihat kegelapan telah datang ke dunia untuk kembali memainkan peran sentralnya sebagai pembawa akhir atas segala sesuatu. Harapan telah menjadi sebuah absurditas absolute untuk selanjutnya dipersalahkan. Mereka yang tidak dapat menerima absurditas sebagai sebuah realita kehidupan akan melakukan tindakan berupa bunuh diri sebagai upaya penolakan atas absurditas dan kekecewaan akibat sebuah kegagalan dan ketersia-siaan. Padahal tindakan bunuh diri tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah jalan pelarian para pengecut dari absurditas kehidupan serta semata hanyalah sebagai alasan pembenaran . Hal ini juga didapati sebagai salah satu implikasi dalam suatu tindakan bunuh diri.

Semakin tertekan seorang individu maka individu itu akan semakin kuat. Individu – individu yang kuat itu adalah invidu – individu yang dapat menerima segala bentuk absurditas sebagai bagian dari hakekat eksistensi kehidupan. Individu yang memandang betapa absuditas adalah sebuah nilai yang sangat berharga bagi kehidupan. Nilai yang membuat seorang individu menghargai kehidupan ( amorfati ) . Nilai yang membuat seorang invidu rela mengorbankan segala-galanya demi kehidupan individu - individu lain di masa mendatang. Nilai yang disadari ketika memandang sebuah moment akan divergensi di dalam eternal recurrent.

Hingga pada suatu ketika, sang sisifus berada di puncak gunung dan untuk selanjutnya mengamati batu besar yang di bawanya dengan penuh penderitaan dan ketersiksaan itu; menggelinding karena bebanya sendiri ke bawah. Dan ia menyadari bahwa aktivitasnya akan berlangsung secara kekal. Betapa serangkaian penderitaan, ketersiksaan, kekecewaan dan kegagalan yang telah menimpanya disikapinya secara dewasa; bagaimana hal itu menjadi sebuah tantangan untuk dihadapi . Betapa pandanganya telah membebaskan dirinya dari belenggu absurditas. Dengan memandang bahwa perjalanannya dalam menopang batu menuju puncak gunung adalah sebuah perjalanan yang kiranya cukup untuk mengisi hati. Mendapati absurditas sebagai sesuatu yang absolute dan riil, untuk selanjutnya memaafkan dan berdamai terhadap segala sesuatu atas dirinya. Kiranya hal ini adalah cukup untuk meruntuhkan dan menghancurkan kerangka dan fondasi sistem masyarakat modern yang berupa paradigma hidup instan dan effisien.

Ketidaksadaran dan penolakan terhadap absurditas yang salah satunya termanifestasi dalam bentuk harapan, telah menjelma sebagai alienasi dan telah menghegemoni umat manusia. Dan hal ini diperparah oleh para reduksialis dan para aktivis pergerakan yang hanya berlandaskan keberpihakan pada suatu kepentingan demi sebuah kekuasaan dengan sebuah harapan profetik akan sebuah tatanan yang sempurna dalam keteraturan yang meniadakan perbedaan . Mereka menabuh genderang perang terhadap ketidakjelasan (l’obscurité). Apakah ketidakjelasan adalah sesuatu yang perlu diperangi, dipertentangkan lantas dipersalahkan?

Sudah saatnya umat manusia memberontak terhadap segala keterikatan bawah sadar baik historis maupun metafisik untuk selanjutnya menerima dengan rela bahwa absurditas adalah " sinar gelap" yang membuat manusia senantiasa berjuang untuk menentukan sendiri kecerahan (la lucidité) atas dirinya sendiri yang berdasar pada keinginannya sendiri. Sehingga hal tersebut disadari sebagai sebuah insting untuk hidup (erros). Hal yang melahirkan sebuah semangat pengorbanan demi kelangsungan kehidupan - kehidupan lain di masa mendatang. Hal yang diawali dari sebuah cara pandang dan penyikapan terhadap keagungan akan perbedaan secara bebas. Hal yang tanpa diawali prameditasi tetapi berlandaskan sebuah “semangat penelaahan bebas” dengan dibawah kendali penuh asas kesadaran. Untuk selanjutnya menjadi manusia – manusia unggul ( ubermensch ). Karena telah menjadi manusia yang menemukan kesempurnaan lewat menyadari batasan maupun kelemahanya. Dan mereka dengan dewasa telah memaafkan dan jujur terhadap dirinya sendiri. Mereka lah orang -orang yang merasa mengemban sebuah tanggung jawab besar ketika mereka memiliki kebebasan dan kekuatan yang besar pula.

Betapapun itu, ketika seseorang dengan kesadaran penuh mau menerima, meng"iya"kan dan berani mengahadapi tantangan nyata sebuah absurditas serta senantiasa berjuang dengan semangat untuk melakukan yang terbaik adalah dirasa cukup. Sehingga membuat seseorang menjadi mencintai dan menghargai kehidupan (amorfati) Tak perlu lagi mempertentangkan keyakinan transendental, filsafat, sains, ideologi dan hal – hal lain untuk selanjutnya mencari –cari korespondensi maupun korelasi terhadap makna akan kehidupan. Mungkin, hal tersebut bisa dimulai dari belajar berkeinginan, belajar melihat dalam menyadari suatu perbedaan, serta belajar mempertanyakan segala sesuatu secara skeptis (kebenaran adalah tidak ada). Dan untuk selanjutnya diikuti dengan sebuah " semangat penelaahan bebas " dalam prosesnya. Bagaimana mitos dari seorang sisifus mampu memberikan ilham dan inspirasi umat manusia dalam memandang dan menyikapi realisme , eksistensi dari absurditas itu sendiri. Apakah hal ini yang dimaksudkan oleh Jean-Paul Sartre sebagai "Man is condemned to be free" ? Sehingga sisifus telah membawa para dewa yang menghukumnya kedalam belenggu absurditas. Tapi, apakah sisifus telah benar - benar menemukan kebahagiaan sejatinya?


Sebuah Subjektivitas penulis

We are given a choice,..
We are given the possibility,…
And it will be over and over again,…
We can't do nothing,..
Except only stepping,...
Or just tracing another left step,..
On the never ending desert,..

But this journey enough to fulfill our heart,..
Just accept this destination,…
Just do your best what you can do,..
Just for carrying to each other,..
Keep fight for your freedom,…
Use your freedom to protect,..
then let the life going to be ,…

Life is gambling
Life is mistake
Life is suffer
Life is absurd
My life mean nothing
But my life journey mean every things

Mother tongue

Share