Selasa, 13 Juli 2010

Why so serious ?




Ini tak lebih hanyalah sebuah expressi. Ini tak lebih hanyalah sebuah pengakuan. Ini tak lebih hanyalah ungkapan. Ini tak lebih hanyalah sebuah persambungan aksara. Tanpa pertimbangan anggapan. Tanpa pertimbangan justifikasi. Tanpa pertimbangan inteptetasi makna. Tanpa tendensi akan kejayaan sejarah masa lalu. Tanpa tendensi akan arkeologi pengetahuan. Tanpa tendensi akan kebenaran absolut. Demi sebuah ketidakjelasan. Demi sebuah harapan palsu. Demi sebuah pencapaian palsu. Demi sebuah pencarian palsu. Akan sebuah kebebasan dan kebahagiaan sejati.

Bagaimana kejanggalan atas sebuah tragedy dan fenomena dipandang sebagai sebuah lelucon. Bagaimana sebuah persona (topeng) tidak lagi mewakili unsur semiotic yang mendeskripsikan topeng itu sendiri. Bagaimana sebuah batasan tak lagi menunjukan kualitas – kualitas yang sempurna melainkan hanya menjadi berhala yang mengalienasi. Bagaimana seni untuk mencari kenyamanan sesaat dalam penderitaan tanpa akhir dianggap naif. Bukankah itu disebut pengalaman survival ? Tapi ini semua tiada lain dan tiada bukan hanya demi sebuah kelangsungan tanpa sebuah kepentingan dan keberpihakan, tak lebih. Tapi bagaimanapun juga, disadari ataupun tidak ; ini pasti tak lepas dari kepentingan keinginan saya sebagai pribadi. Sebuah paradoks yang tak pernah lepas dari seseorang.

Jadi mengapa kita sebegitu seriusnya, sobat ? Bukankah segala hal yang dianggap lucu oleh seorang subjek adalah segala hal yang dianggap janggal oleh subjek tersebut? Apakah salah ketika seseorang tertawa saat melihat peristiwa kematian atau sadistic ? Apa benar jika selera humor yang agak menyimpang pada seseorang menunjukan gejala neurosis pada orang tersebut ? Lalu apa bedanya mereka dengan orang yang menertawakan dirinya sendiri ketika mengalami penderitaan maupun mengalami kegagalan? Bukankah tertawa itu berbeda dengan menertawakan ? Apakah tokoh antagonis terjahat yang pernah ada didunia ini tidak pernah atau tidak boleh tertawa? Why so serious, bro ?

Tapi demi kepentingan kelangsungan, alangkah bijaksannya bagi orang – orang yang belum mau melepaskan sejenak segala superego individu maupun collective, untuk tidak membaca ini semua. Tapi jika anda termasuk orang – orang tersebut dan berminat membaca, mintalah untuk didampingi orang tua anda, pemuka agama anda, pimpinan cultural anda ataupun pimpinan golongan anda. Tapi saya juga tidak menjamin bahwa anda yang merasa telah lepas dari segala super ego akan terhibur ataupun benar - benar tertawa.




"Manusia segera melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, perjuangan untuk hidup memerlukan kekuatan bukanya kebaikan, atau kebajikan, bukan rasa rendah diri melainkan keangkuhan, bukan altruisme melainkan kecerdikan. Demokrasi dan persamaan itu dekaden, karena bertentangan dengan proses seleksi dan survival. Bukan massa jelatahlah yang penting, melainkan segelintir jenius – jenius yang akan memimpin massa itu. Bukan keadilan melainkan kekuatanlah yang akan meninggikan umat manusia. Moral dan kebajikan (yang dalam kehidupan Nietzsche adalah moralitas Kristen) adalah berhala yang melemahkan umat manusia sehingga harus diberantas. Yang diperlukan bukanlah moralitas budak, melainkan moralitas aristrokrat, moralitas tuan yang kuat –kuasa. Inilah dasar pemikiran Nietzsche"
-Yayasan Bentang Budaya, Nietzche : Senjakala Berhala dan ANTI – Christ-



Sebelum kita membahas kutipan tulisan oleh yayasan bentang budaya tentang Nietzsche, mari kita simak tulisan pada symbol “Explicit content” yang tertera sebelumnya. Sejenak ada sesuatu yang terbelisit dalam kepala saya jika melihat symbol tersebut, tapi apapun itu; yang jelas pasti tak jauh – jauh dari sesuatu yang kontradiktif ataupun paradoks. Dari sana saya melihat, bagaimana sebuah realita bagi orang tua untuk anak - anak , dianggap sebagai sesuatu yang lebih berbahaya dari pada sesuatu yang tersirat (implicit). Sehingga seorang anak yang mengkonsumsi tayangan dengan label tersebut membutuhkan pendampingan oleh orang tua yang tentunya dianggap telah dewasa. Tapi saya juga tidak yakin benar jika semua orang tua itu benar – benar memiliki kedewasaan. Karena sejujurnya, saya tak melihat adanya korespondensi langsung antara bertambahnya usia dan bertambahnya tingkat kedewasaan. Atau bisa dibilang “Bertambah tua itu pasti tapi bertambah dewasa itu adalah sebuah pilihan.”. Tentunya akan menambah panjang pembahasan jika juga saya bahas mengenai fenomena anak – anak yang menjadi dewasa bukan pada waktunya. Tapi apapun itu, mari kembali pada label “explicit content”.

Jadi, seberbahaya itu kah sebuah tampakan realitas bagi perkembangan seorang anak ? Tapi, adakah orang tua yang mengajak bersama anaknya untuk menonton bersama tayangan dengan label tersebut ketika anak itu dianggap cukup umur? Atau dengan kata, pernyataan maupun esensi yang benar – benar lain, sejak kapan seorang anak yang beranjak dewasa itu berani melakukan sebuah pemberontakan atas (super ego) orang tua nya hanya untuk sekedar mengetahui lebih jauh tentang sesuatu yang taboo? Jadi bagaimana dengan anak – anak yang tak pernah melewati masa -masa itu? Mudah – mudahan anak – anak baik dan penurut yang disayang orang tua itu tidak akan pernah benar - benar melihat realitas taboo itu. Atau mereka akan menyesal karena pernah dilahirkan ke dunia. Sayangnya di negaraku tercinta ini; tempat saya mendekam sekarang ini, terlalu banyak orang yang terlau bahagia karena pernah dilahirkan ke dunia. Jadi apakah anda punya gagasan mengenai korelasi atas ini semua dengan krisis kepemimpinan yang belakangan terjadi di negara ini ?

Jika boleh mengungkapkan sesuatu yang berdasar pada memori tentang masa lalu saya, idealnya semenjak usia dini, seorang anak senantiasa disuguhi dengan berbagai hyperrealita yang sifatnya utopis, imajinatif dan sesuatu yang berhubungan dengan estetika yang sifatnya lugas. Estetika satu dimensi. Estetika mengenai kebahagian dalam kehidupan abadi. Serta sebuah harapan akan datangnya keajaiban. Yang disampaikan dalam bentuk dongeng maupun cerita menjelang tidur. Betapa seorang anak dikonstruk oleh pesan – pesan moral dogmatis maupun moral cultural yang sifatnya menjadi sebuah doktrin partikular.

Betapapun itu, adalah sebuah kebohongan terbesar dalam sejarah kemanusiaan adalah jika seseorang tidak boleh melakukan dosa. Kebohongan yang teroganisir dalam konstruksi pesan – pesan moral dogmatis. Tapi sadarkah kita pada saat dewasa, ketika melihat suatu bentuk estetika lain; estetika yang berlawanan dengan aspek – aspek moral, kita tidak akan merasakan ketakjuban melainkan merasakan sebuah ketakutan! Tapi kenapa bisa memiliki perasaan itu, padahal hal tersebut (estetika lain) adalah sesuatu yang cukup absah? Ketika ada hal – hal yang bertentangan dengan segala aspek moralitas, maka hal itu akan dipetentangkan, diperdebatkan lantas diperangi. Kasihan bangsa bar – bar itu, hanya merekalah yang kebrutalannya selama ini yang terexpose. Tapi menurut saya mereka jauh lebih baik mengingat apa yang mereka pilih (menjadi brutal) adalah atas dasar kesadaran. Tapi bagi mereka yang selain bar – bar dengan perilaku serupa, apakah perang itu menurutmu bukanlah dosa? Membunuh demi kebenaran bukanlah dosa. Berbohong demi kebenaran bukanlah dosa. Jadi kesimpulanya berdosa demi kebenaran adalah pahala. Ternyata betapa mulianya seorang pendosa. Jika memang benar seperti itu adanya, saya rasa ada yang salah dengan tuhan.

Sehingga jika kita lihat dari sisi yang lain, tidak ada sebuah perbedaan dari para penganut suatu keyakinan, simpatisan pergerakan, simpatisan partai, komunitas – komunitas yang memiliki ideologi , hingga supporter suatu kesebelasan sepak bola. Bagaimana untuk selanjutnya selalu sebuah vandalisme diambil sebagai resolusi terakhir. Mendebat sesuatu yang mereka tak tahu, atau bahkan tak akan pernah tahu. Memikirkan sesuatu yang tak akan pernah mereka alami. Mempertahankan sesuatu atas dasar keyakinan buta. Dan saya tak yakin benar apa sebenarnya yang mereka yakini. Memerangi sesuatu yang tak mereka ketahui, saya juga tak yakin kalau sesuatu tersebut perlu diperangi atau tidak. Mungkin ada perbedaan tingkat open-mind atas saya terhadap mereka hingga saya benar – benar tak memahami apa yang mereka anggap sedemikian pentingnya untuk dipermasalahkan. Jadi, sebenarnya apa gerangan yang sedang mereka semua lakukan? Kenapa mereka sebegitu seriusnya?

Jika benar itu dikatakan ada kaitanya dengan kebanggaan atas kejayaan masa lalu, saya benar – benar tak melihat korespondensi langsung atas sejarah pencapaian masa lalu dengan suatu kebanggan. Mereka berlagak seolah seorang sejarahwan yang bisa menembus ruang dan waktu. Mereka seakan memahami secara pasti apa yang dimaksudkan oleh orang – orang terdahulu. Sampai – sampai mereka tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Terlebih mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Lalu bagaimana mereka bisa mengenal orang lain sebegitunya ? Dan tentunya orang – orang yang dikenalnya berada di masa berbeda. Atau mungkin bisa jadi reinkarnasi itu memang ada, sehingga mereka adalah penjelmaan dari reinkarnasi orang – orang tedahulu. Tapi saya rasa, mereka lebih pantas bereinkarnasi menjadi detritivor maupun dekomposer yang mampu membusukan lalu menguraikan sampah organik yang ada dimuka bumi, setidaknya itu akan lebih tepat guna. Dari pada mereka susah payah membawa sampah busuk masa lalu untuk dibawa ke masa kini. Bukanya itu akan menambah masalah baru mengingat sekarang sudah terlalu banyak sampah plastik yang tak bisa diuraikan? Tapi betapapun itu bukankah sejarah itu adalah milik pemenang? Tahukah mereka bahwa sejarahwan itu terlalu banyak menoleh ke belakang? Sehingga mereka percaya dengan apa yang dibelakang. Jadi kenapa sekali – sekali kita tak berjalan seperti kepiting? Lalu hingga pada puncaknya dan menurut saya adalah sesuatu yang cukup gila dan mengerikan, mereka menaati dan mematuhi segala sesuatu atas dasar logika a priori. Dari hukum cultural, hukum agama, hukum negara hingga postulat matematis. Sehingga apa yang seharusnya jadi sikap kita? Kasihan kah? Atau marah akibat kenaifan mereka? Tapi ngomong – ngomong, apa bedanya kita dengan mereka? Kenapa kita sebegitu seriusnya?

Tetapi, mungkin mereka juga orang yang benar – benar teguh dalam memegang sebuah keyakinan akan sebuah kebenaran absolute. Mungkin mereka juga orang – orang yang sangat social. Orang -orang yang Sangat peduli dan memperhatikan sekitarnya. Bagaimana mereka senantiasa bisa menghina ketika ada orang yang merintis sesuatu. Menertawakan sekencang - kencangnya sebuah usaha yang disebutnya tak mungkin maupun absurd. Sebuah usaha dalam membuat sebuah inovasi. Sebuah usaha dalam menciptakan gebrakan perubahan. Apakah benar ada sesuatu yang tak mungkin itu ? Hanya ikut bangga dan bersorai ketika ada seseorang mencapai keberhasilan. Jadi apakah ada ide lain, kenapa banyak ilmuwan – ilmuwan hebat negeri ini berbondong - bondong pindah ke luar negeri ?

Apakah memberikan sedikit apresiasi adalah benar - benar menghilangkan motivasi seseorang? Sehingga dengan menghina dan menginjak – injak harkat dan martabat orang – orang hebat itu adalah sebuah jalan terbaik dalam memberi motivasi. Hingga orang – orang hebat itu merasa terasing dan putus asa adalah dirasa cukup. Apakah secercah harga diri semu (tidak ingin kalah) itu jauh lebih penting dari sebuah kelangsung tatanan yang lebih baik? Tapi satu hal yang saya yakini, bahwa orang – orang hebat itu adalah orang – orang yang menghargai sebuah memori. Jadi tidak tertutup kemungkinan kalau mereka menyimpan dendam berlebih, jadi sebaiknya berhati – hatilah terhadap mereka, jika anda pernah secara sengaja maupun tidak dalam melakukan itu semua. Tapi tahukah anda bahwa seekor cacing akan menggeliat jika diinjak, itu ia lakukan agar tak diinjak lagi. Dan itu cukup briliant menurutku, untuk hewan yang tak memiliki otak; setidaknya dia tahu diri !

Atau bisa jadi hal itu juga dikarenakan sebuah tradisi mengenai penghormatan berlebih kepada golongan tua. Kepada yang merasa memiliki pengalaman lebih. Kepada mereka yang selalu masa kini tak pernah lebih baik dari masa lalu. Mereka yang seakan – akan bisa menunjukan sebuah perspektif yang terbaik dan terbenar. Mereka yang merasa dirinya paling berhak dalam melakukan segala justifikasi. Mereka berlagak seolah tuhan dalam bentuk yang lain. Sehingga pada kasus – kasus tertentu, beberapa dari mereka memiliki sebuah hasrat untuk dipuja maupun disembah. Tapi saya rasa mereka hanya orang – orang dengan kontribusi minim tapi berjuta - juta expectasi. Jadi apa perlu pengalaman hebat mereka yang mampu “ menggegerkan dunia ” itu (kalau memang sepeti itu) menjadi titik acuan kita sehingga kita juga harus melewati fase pengalaman yang sama dengan mereka ? Atau dengan kata lain jika mereka dulu pernah menderita, kita juga harus mengalami penderitaan yang sama. Lalu apa hubunganya pengalaman hebat mereka, justifikasi mereka, penderitaan masa lalu mereka dan apa yang kita alami ? Tahukah kita apa yang menjadi semangat pengorbanan segala – galanya di masa kini demi masa mendatang itu? Bukankah arahannya agar tidak ada lagi orang – orang yang menderita seperti kita di masa kini pada masa mendatang? Saya rasa mereka benar – benar butuh obat untuk menekan hormon super ego mereka yang begitu berlebih.

Ada yang tahu apa fungsi cermin? Saya rasa orang – orang sekarang lebih suka menggunakan spion. Sayangnya, alat itu lebih effisien jika digunakan melihat noda coreng di wajah orang yang berada jauh di belakang kita. Itu tidak dirancang untuk melihat kotoran (feses) yang menempel di wajah kita sendiri. Atau mungkin, kita yang terlalu takut untuk melihat refleksi bayangan kita sendiri pada cermin ? sehingga kita bisa melihat realitas busuk atas diri kita sendiri. Mereka lebih senang mengingat sebuah kesalahan kecil, kesalahan yang membuat seseorang belajar, ketimbang sebuah kontribusi. Mungkin mereka terlalu sosialnya sehingga mereka menjadi sosiopatic. Tak pernah menyadari dan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pembunuhan. Entah itu pembunuhan karakter, pembunuhan mimpi, hingga pembunuhan fisik yang membuat seseorang tak lagi hadir di dunia. Jadi menurut anda, lebih kejam mana antara mereka dan seorang psikopat legendaris yang dikenal sebagai jack d’ripper? Agaknya ini merupakan pilihan yang cukup sulit. Make your choice!

Tapi alangkah lebih bijaksananya, jika menghormati itu bukan hanya karena sekedar perbedaan usia maupun tradisi yang dipaksakan. Tapi lebih berdasar pada pilihan sadar karena tahu diri dan terima kasih terhadap sebuah memory akan kontribusi sekecil apapun yang pernah dilakukan oleh seseorang. Tapi agaknya hal itu akan selalu menjadi utopia dan tak lebih hanya menjadi sebuah angan – angan yang tidak kesampaian. Mengingat, si tua bangka, narsis, tolol, hedonis, serakah, psikopat dan tak tahu diri itu, kini berada di atas. Dan atas dasar suka – suka, mereka memilih penerus (golongan muda) yang merupakan tiruan sempurna atas dirinya untuk menjadi penggantinya. Betapa teroganisirnya mereka ! Atau ini tak lebih karena tak ada yang tak seperti itu? Mungkin sungguh tidak fair jika membuat justifikasi itu. Marilah berbaik sangka ! Jadi, mungkin mereka cuma lupa tempat meletakan otak, hati dan alat inderanya di suatu tempat. Atau mungkin mereka cuma lupa cara menggunakanya. Kalaupun bukan itu semua, ini tak lebih hanya kurangnya pemahaman saya akan niat mulia mereka. Why so serious ?

Tak kusangka betapa susahnya untuk bertanya jika kita memang tak tahu. Betapa sulitnya untuk mengakui dan meminta maaf atas kesalahan – kesalahan kita. Betapa beratnya hanya sekedar sedikit memahami keterbatasan orang lain. Tak kusangka melakukan segala sesuatu secara fair seolah sebegitu profetiknya. Tak kusangka juga ternyata, sebuah dongeng mempunyai power yang benar – benar bersifat kreatif yang mampu merepresi seseorang. jadi, apa perlu cerita fabel, epos dan lain – lain yang diperdengarkan di usia kanak – kanak diganti dengan cerita tragedi misteri yang sangat rasional ? sehingga ketika anak – anak itu beranjak dewasa, mereka akan merasa takut dengan cerita fabel dan logika a priori ? Saya rasa itu tidaklah cukup. Saya merasa bahwa realitas bukan sesuatu yang patut disembunyikan. Adapun istilah bahwa “ kamu belum saatnya.”, menurut saya adalah bentuk kesombongan yang lebih dibanding kesombongan manusia sebagai makhluk sempurna. Sebenarnya saya sama sekali tak memahami pernyataan itu. Tapi yang saya tahu, kita juga sama – sama tak tahu mengenai “saat” yang pasti atas kehadiran kita (hidup). Sekali lagi, sepertinya syndrome sok tuhan kembali mewabah untuk selanjutnya mejangkiti umat manusia. Entah mengapa saya terblisit sesuatu yang di katakan oleh Karl Marx dan saya rasa ini cukup populer, “ Bahwa agama adalah candu masyarakat.”. tapi setidaknya, marx berpihak pada dirinya sendiri, sedangkan yang lain berpihak padanya. Untungnya saya lebih inkonsisten ketimbang mereka, andai saja aku benar – benar konsisten terhadap itu.

Tapi sepertinya hal itu hanya berkaitan pada bangsa tertentu saja. Bangsa yang punya segalanya tapi tidak pernah benar - benar memiliki segala sesuatunya. Tentunya bangsa itu adalah bangsa kolot (konservatif) yang lumayan tertinggal dan memiliki hobby menjual sumber daya-nya yang melimpah secara cuma - cuma. Mereka adalah bangsa yang sangat dermawan, bahkan mereka rela membayar hutang para pengusaha yang mengeruk keuntungan secara melimpah dari sumber daya mereka sendiri, hak mereka sendiri; Tatkala mereka sendiri kekurangan. Kali ini saya seolah melihat tipisnya batas antara kebodohan dan kebaikan itu. Atau mungkin ini tak lebih karena mereka masih hijau ?

Mereka lebih bangga tatkala menjadi konsumen ketimbang menciptakan sebuah magnusopus. Konsumsi demi komoditas life style dirasa lebih diutamakan ketimbang kualitas pola perilaku dan pola pikir. Mereka juga terbiasa meminimal-kan potensi yang maksimal. Karena pada kondisi tertentu (pemenuhan hasrat identitas), mereka rela membeli barang – barang yang mereka tak tahu untuk apa mengkonsumsinya maupun bagaimana cara mengkonsumsinya. Mereka adalah sebuah bangsa yang lebih percaya dengan apa yang terlihat (tampakan luar) dari pada sebuah esensi mendalam. Sungguh kontradiktif, padahal mereka notabene adalah sebuah bangsa yang meyakini sesuatu yang tak terlihat yang berdasar pada sebuah kitab yang berisi penuh pesan – pesan dogmatis yang bersifat implicit; dikatakan pula bahwa jumlah mereka adalah yang terbesar didunia. Dikatakan pula , mereka benar- benar Anti terhadap komunisme, karena mereka mampu mensikritisme–kan antara atheis dan komunis. Tapi ternyata, mereka juga realis (seeing is believing); nyatanya mereka lebih mengagumi orang –orang yang tampak hebat ketimbang orang yang tulus dalam bersumbangsih. Mereka baru akan merasa kehilangan sesaat, ketika mereka benar - benar di-tinggal-kan orang – orang hebatnya. Sedang mereka merasa tak memiliki ketika orang- orang hebat itu ada. Mungkin hal itu disebabkan oleh tidak terlihat bergunanya tentang apa - apa yang dilakukan orang – orang hebat ketika ada menurut mereka . Betapa berkarakternya dan realisnya bangsa itu. Sungguh mengagumkan, mereka tahu diri dan tahu prioritas !

Mereka juga memiliki beberapa kualitas lebih selain yang tersebut sebelumnya. Seperti lebih suka menjadi budak bangsa asing dari pada menjadi tuan. Lebih memilih membuang mimpi dan idealismenya hanya untuk sekedar jenjang karir. Lebih bangga menjadi budak multinasional ketimbang membuat usaha di atas kaki sendiri. Lebih suka membicarakan perubahan tapi tidak suka melakukanya. Lebih suka perdebatan tak berarti, ketimbang usaha kongkret dalam membangun ataupun merintis usaha. Lebih sibuk mementingkan eksistensi diri dari pada kemajuan bersama. Lebih menganggap kehebatan orang lain (orang sebangsa) adalah sebuah ancaman berarti. Mereka lebih sebagai bangsa yang teralienasi. Bangsa yang cukup puas karena telah dialienasi lebih tepatnya. Dan satu hal yang agak ironis, mereka kini lebih mengusahakan merintis sebuah usaha agar menjadi bangsa yang dipandang, ketika bangsa lain sibuk memikirkan bagaimana menyelematkan dunia dari kehancuran. Entah mereka terlalu maju atau terlalu tertinggal? Mereka sepertinya adalah bangsa yang suka bermain – main dengan batasan. Sayangnya sepertinya sekarang mereka terlalu terlewat batas. Atau mungkin saya yang agak berlebihan, Why so serious ?

Mungkin sekarang adalah waktu yang cukup tepat untuk kembali kepada kutipan yayasan bentang mengenai Nietzsche di awal tadi. Mungkin kutipan tersebut bagi banyak kalangan tak memiliki makna yang penting. Tentunya hal itu akan terkesan sangat sarkastik bagi anak kecil yang membacanya. Mungkin bagi sebagian kalangan hal itu dianggap sebagai sesuatu yang amoralistik. Tentunya juga sangatlah gawat jika hal itu ditelaah secara mentah – mentah entah oleh orang dewasa maupun oleh anak – anak. Dan sepertinya, gambaran singkat mengenai deskripsi bangsa yang tersebut sebelumnya , mendekati keadaan jerman pra perang dunia pertama. Ketika bangsa lain sibuk memamerkan hasil riset tekhnologi senjata mutakhir, bangsa jerman hanya bisa memamerkan barang seni yang tak bernilai. Hingga seorang Adolf Hitler menelaah secara mentah – mentah apa yang diutarakan oleh Nietzsche. Mungkin kurang lebihnya (yang di telaah hitler) seperti apa yang menjadi kutipan yang telah tertera sebelumnya. Dan Hitler telah benar – benar mengubah wajah jerman; pasca Bismark (dengan kerajaan prusia-nya). Tapi apa perlu kita melakukan hal sama dengan apa yang dilakukan oleh Hitler? Jika keledai tak pernah jatuh kelubang yang sama dua kali, apa sebutan yang pantas untuk makhluk yang jatuh kelubang yang sama tiga kali ?

Mungkin ketika saya pertama kali membaca kutipan tersebut pada usia 12 tahun, saya merasa itu adalah sebuah kebenaran tentang manifestasi will to power untuk menjadi seorang ubermensch (manusia unggul). Mungkin beberapa tahun setelahnya saya cenderung memandangnya sebagai bentuk absurd nya sebuah kehidupan dan palsunya moralitas dogmatis itu. Mungkin pada saat ini, saya merasa itu bukan pemikiran Nietzsche; melainkan itu tak lebih hanya hasil penelaahan pengarang. Pengarang yang mengkonsumsi hasil pemikiran seorang Friederich Nietzsche. Betapa lamanya proses prameditasi yang saya lakukan demi sebuah pemahaman. Pemahaman yang menuntun saya dalam berpikir dan bertindak.

Setidaknya ada sebuah batasan yang harus selalu saya taati, yaitu bahwa setidaknya saya harus tahu benar dan sadar atas apa yang saya lakukan maupun saya pilih. Jika ingin jahat, maka jahatlah melebihi Lucifer (kalau tidak salah ia semacam raja setan yang menjadi icon kejahatan yang cenderung amoral) ! Jika ingin baik, maka baiklah melebihi Gabriel (kalau tidak salah ia semacam malaikat yang penuh cinta kasih dan sangat taat kepada tuhan) ! Bukankah kita manusia (kalau tidak salah ia semacam makhluk tak terdefinisi, kalaupun ada yang mencoba mendeskripsikannya adalah ilmu psikologi; itu pun terkadang banyak hal yang mengada - ada) ? Bukankah kita bebas memilih dan menjadi sesuai yang apa kita inginkan? Bukan menjadi apa yang dijanjikan.

Hal yang telah saya sebut sebelumnya tak lebih hanyalah sebuah penggalan pengalaman tanpa arti. Setidaknya saya hanya mencoba menunjukan bagaimana saya mendapati arti penting mengenai berharganya waktu dalam proses prameditasi itu sendiri. Jadi menurut hemat saya, sangatlah riskan jika bangsa yang telah saya deskripsikan secara singkat sebelumnya; membicarakan blueprint mengenai long-therm-plan dalam rangka membuat kebijakan Negara, hanya dalam kurun waktu beberapa hari (2 hari lebih tepatnya). Terlebih mereka ingin memblow-up isu - isu sentral dalam tatanan global, membahas akselerasi riset dan tehnologi, hingga intregasi seluruh pelajarnya di penjuru dunia untuk menciptakan sebuah counter – hegemoni (ala Gramsci lebih tepatnya) dalam rangka membuat bargaining positition lebih bagi bangsa itu sendiri. Bisa jadi, hal tersebut diilhami oleh para pendahulu mereka yang memang menurut saya benar – benar hebat. Pendahulunya yang mampu mendirikan Negara dan kelengkapan kedaulatanya dalam tempo yang sesingkat – singkatnya. Atau mungkin, hal itu diilhami oleh mitos kuno mengenai kemampuan nenek moyang mereka dalam membangun 1000 candi dalam satu malam. Kira – kira, seperti apa tanggapan Lenin jika ia tahu bahwa ada bangsa yang ingin menciptakan peristiwa revolusioner tanpa konsepan revolusioner ? Apakah mereka yakin dengan apa yang mereka katakan mengenai counter-hegemony gramsci hanya dengan persiapan selama 2 hari ? Sepertinya peradaban mereka sedang sakit. Benar – benar, mereka hyper reaktif dan hyper sporadis.

Padahal sepenangkapan saya, selain itu kritik utama Gramsci adalah mengenai masyarakat komunis utopia Marx bukanlah dalam tatanan masyarakat suatu Negara, melainkan dalam tatanan masyarakat global (internationale) tentunya dalam kaitanya dengan sebuah counter - hegemony . Dan apapun itu, menurut saya hal itu revolusi (internationale) tak pernah terjadi selain apa yang pernah diklaim di daerah amerika selatan. Dan terlebih lagi, sepengetahuan saya; negara tersebut memiliki undang – undang dan sebuah ketetapan mengenai penolakan keras terhadap segala unsur yang berbau komunisme. Tapi yang jelas, merekalah yang lebih tahu tentang apa yang mereka katakan sendiri, semoga memang begitu adanya. Agaknya, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Ngomong – ngomong mengenai isu sentral, adakah isu kekinian yang lebih sentral dari masalah global warming ? Saya rasa hal itu cukup krusial dan berkorespondensi langsung dengan kelangsungan perdaban di bumi. Mengingat itu merupakan petanda bakal binasanya bumi kita dalam 3 - 4 dekade kedepan tanpa konservasi lingkungan secara intensif. Singkatnya jikalau mereka berhasil menjadi bangsa yang agung dan adikuasa, mereka akan menetap dimana? Atau itu mungkin akan benar – benar terwujud, dengan prasyarat yang wajib dipenuhi adalah jika bangsa - bangsa yang besar pada saat ini, telah bermigrasi ke planet lain kala itu. Ada yang sedang mengidap neurosis akut sepertinya ! Mungkin, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Saya rasa, untuk saat ini membicarakan mengenai counter-hegemoni dalam rangka membuat sebuah revolusi, cukup kurang relevan (sudah terlanjur basi) rasanya. Mengingat telah lewat 1 dekade lebih semenjak dianutnya the third way-nya (Anthony Giddens) oleh bangsa – bangsa maju (welfare state country) dan adidaya yang terang - terangan menggemborkan matinya dualitas. Menurut hemat saya, revolusi dalam aspek sosio-cultur yang pernah benar – benar terjadi hanyalah revolusi industry. Dan tahukah anda, hal itulah yang menjadi cikal bakal terjadinya permasalahan global warming pada saat ini. Dan tentunya pula, sudah terlanjur bersarang laba – laba, berakar, berlumut, hingga memfosil jika bangsa itu masih menginginkan akselerasi riset dan tehnologi untuk tujuan itu (revolusi industri). Terlebih secara bahan baku, bangsa itu masih bergantung dengan bangsa lain (mereka tidak dapat memproduksi sendiri). Dan terlebih lagi pengalaman riset dan tekhnologinya hanya tertinggal selama 4 dekade dari bangsa – bangsa maju. Kemana saja mereka ? Sehingga, sudah terlambat untuk menjadi pesimistik.

Dan satu hal yang cukup menarik bagi saya adalah masalah intregasi para pelajar bangsa itu yang sedang mengenyam pendidikan di negeri lain yang lebih maju. Rasa - rasanya cukup sia – sia jika implementasi riil dari intregasi itu sendiri adalah hanya sekedar kumpul - kumpul dalam penyuluhan. Lebih ironis lagi jika ternyata mentalitas mereka tak sama ubahnya dengan pelajar lokal yang memiliki cita – cita mulia untuk mengabdi kepada perusahaan multinasional. Bagaimana kalau mereka membuat serikat pekerja saja, ketimbang mereka repot – repot membicarakan globalisasi sebagai seorang negarawan dadakan; kalau toh hasil akhirnya juga sudah pasti. Saya rasa, kuantitas mereka ( pelajar luar ) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan para pelajar yang berada di dalam negeri. Tapi setahu saya, mereka dianggap ancaman oleh para pelajar lokal mengingat image dan reputasinya sebagai produk luar negeri. Merekalah (yang menurut para pelajar lokal itu) yang akan menghabiskan seluruh kursi jajaran top management, ketika kembali nantinya. Saya rasa, pekerja dengan penghasilan tertinggi dalam sebuah perusahaan tak akan pernah menjadi lebih kaya dari pemilik perusahaan. Pekerja tetaplah pekerja. Proletar adalah proletar. Jadi perbedaan antara produk dalam dan luar adalah pada added valuenya. Walaupun si produk luar tentunya akan lebih menyadari surplus value atas dirinya, sehingga upah nya akan sedikit lebih mahal tapi dengan kualitas lebih. Bukan nya kaum intelektual seperti mereka semua lah yang bertanggung jawab dengan ketersediaan lapangan kerja negeri itu? Bukanya mereka yang di luar itu juga bertanggung jawab terhadap transfer keilmuan dalam rangka akselerasi riset dan tehnologi ? Dan untuk kesekian kalinya, sudah terlalu terlambat untuk menjadi pesimistik.

Bangsa dan Negara itu adalah Indonesia. Negara dengan potensi populasi penduduk sebesar 200 juta. Negara yang memiliki keanekaragaman kultur. Negara yang benar – benar kaya potensi sumber daya alam. Negara yang memiliki wilayah perairan luas. Negara yang memiliki hutan luas sebagai paru – paru dunia. Sayangnya, tidak ada yang sadar bahwa indonesia memiliki potensi yang sangat besar dari itu semua. Sayangnya, tidak ada will to power dalam diri bangsa Indonesia. Sayangnya, tidak ada lagi orang – orang hebat sekaliber para founding father mereka. Sayangnya, para ilmuwan dan pakar hebat mereka telah terlanjur merasa tersing dan pada bepergian. Sayangnya, tidak ada yang merasa bertanggung jawab, atas apa yang tidak dapat dilakukan bangsa Indonesia dengan potensi sebesar itu. Dan sayang sungguh sayang, tidak ada lagi yang merasa memiliki bangsa ini. Jadi, lakukan yang bisa kau lakukan ! Katakan yang ingin kau katakan ! Sejarah tinggalah sejarah ! Mimpi tinggalah mimpi ! So, Why so serious ? Dan tinggal berharap pada keajaiban, seperti yang terkisah pada dongeng masa kecil kita yang indah,…



referensi :
  • Algoritma dan memory otak Saya
  • Penangkapan Audio Visual saya dalam bentuk pengalaman
  • Apa yang saya rasakan dari hasil pengindraan saya
  • Manifestasi Keinginan – kenginan saya
  • Kekecewaan, kegagalan, keterhinaan, keterasingan, ketidakpuasan, kesendirian, ketiadaan dan kegelapan yang mungkin jadi refleksi sebuah cermin objektif bagi evaluasi kehidupan saya
  • Sikap dan pemikiran skeptic saya
  • Pencitraan imajiner atas diri saya dan sekitar
  • Segala sesuatu yang saya anggap menggelikan
  • Segala hal yang tidak saya sebutkan


tulisan ini dalam rangka menanggapi hal ini :

covernya
Cover Proposal SI PPI Dunia 2010

isinya
Proposal SI PPI Dunia 2010




Mother tongue

Share