Sabtu, 21 November 2009

Yang Tidak Dimiliki Bangsa Indonesia (*_*)

-Sebuah esai dari orang yang biasa-biasa saja tapi tidak ingin hidup biasa-biasa saja-


Transformasi arus sistematika dunia menuju globalisasi

Dunia telah semakin tua, arus sistematika dunia juga terus mengalami perubahan. Banyak hal yang telah terjadi, sejak terjadi revolusi maupun involusi terhadap seluruh tatanan sosial masyarakat. Konflik yang timbul akibat pertentangan antara golongan konservatif dan radikal dimana ketidakpuasan atau pemberontakan terhadap tatanan yang dirasa tidak sesuai selalu menjadi pijakan awal menuju perubahan. Sejak era yunani kuno yang mempertentangkan mitologi dewa melawan rasional cosmos kemudian kerajaan romawi dengan hegemoni paham – paham kenegaraan-nya lalu dark age dengan irrasionalitas akibat pengkultusan dogma, hingga lahir seorang Rene Descartes dengan rasional antropomorfisnya, dilanjutkan seorang Hegel dengan dialetika ruh universalnya yang mendialektikakan secara historis antara irrasional dogmatis dengan rasional anthromorphis, untuk selanjutnya diteruskan oleh sebuah analisis kritis Karl Marx tentang dialektika materialis. Dualitas adalah hal yang selalu menjadi pertentangan dan memiliki sifat saling menegasikan satu sama lain untuk selanjutnya diperoleh sintesa dari keduanya sebagai awal dari sebuah perubahan.

Konstruksi struktur yang ada, merupakan refleksi arus sistematika pemikiran masyarakat pada saat itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa refleksi arus sistematika pemikiran rasional-antropomorfis dimulai sejak Descartes lahir. Hal ini membuat konstruksi struktur yang ada beralih menuju ranah modern , Zaman modern secara tidak langsung memunculkan embrio - embrio yang membuat dualisme secara tidak langsung menjadi tidak relevan lagi terhadap arah perkembangan zaman kedepan. Betapa tidak, semakin bertambahnya parameter -parameter universal seperti, bidang jasa, tekhnologi, pola investasi serta migrasi pekerja yang secara langsung mengarah pada naluri manusia sebagai homo economicus yang tidak pernah lepas pada unsur - unsur kapital (baca; surplus value) sebagai motif utamanya. Hal ini menyebabkan semakin kuatnya fondasi kapital dalam semua aspek kehidupan umat manusia, sehingga konstruksi pemikiran masyarakatnya mengalami pergeseran, dimana hal tersebut mengakibatkan punahnya hal-hal normatif-kultural karena dirasa sudah tidak diperlukan lagi akibat hegemoni orientasi kebutuhan serta paradigma hubungan sosial masyarakat yang cenderung fungsional.

Hal ini ditunjang dengan semakin mudahnya kehidupan (praktis - pragmatis) seiring dengan perkembangan tekhnologi yang masif. Nilai - nilai amoral tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu selama sejalan dengan kebutuhan maupun kepentingan serta mainstream pada konstruksi masyarakat tertentu. Dualitas akhirnya berubah menjadi sebuah ketidakpastian yang complex. Dan mau tidak mau dunia kontemporer terbentuk oleh ketidakpastian complex itu sendiri. Sistem-sistem yang telah ada sebelumnya kemudian berkembang menjadi substansi-substansi yang membentuk konstruksi struktur tatanan global.





Globalisasi yang membentuk ketidakpastian kompleks


" Globalization (or globalisation) describes an ongoing process by which regional economies, societies and cultures have become integrated through a globe-spanning network of exchange. The term is sometimes used to refer specifically to economic globalization: the integration of national economies into the international economy through trade, foreign direct investment, kapital flows, migration, and the spread of technology.[1]. However, globalization is usually recognized as being driven by a combination of economic, technological, sociocultural, political and biological faktors.[2] The term can also refer to the transnational dissemination of ideas, languages, or popular culture . "
                                                                                                                                                                         
-Anthony Giddens : Beyond Left and Right-

Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul Beyond Left and Right globalisasi bukan merupakan suatu proses tunggal tetapi merupakan percampuran proses yang kompleks, yang sering berjalan dengan cara yang saling kontradiktoris, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik, kesenjangan, dan bentuk-bentuk stratifikasi baru.

Dari definisi tersebut jelas bahwa globalisasi adalah hilangnya batas negara, sosio-kultural, ekonomi, yang didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi, dimana hal tersebut terintegrasikan pada tatanan masyarakat global. Diharapkan dengan adanya globalisasi seluruh manusia pada belahan dunia manapun memiliki kesetaraan. Sehingga pertentangan akibat divergensi sosio-cultur, ideologi, sistem ekonomi masyarakat tergantikan oleh sebuah tatanan yang terintegrasi secara global dengan mekanisme pasar berupa free trade yang meniadakan batas-batas negara sebagai penghalang proses kapital, hal tersebut mempermudah perusahaan-perusahaan multinasional untuk beroperasi (melakukan investasi/kapital investment) di negara berkembang dengan harapan mendapatkan tenaga kerja murah akibat selisih nilai mata uang yang bersifat fluktuatif, disisi lain hasil produksi mendapatkan label berupa lisensi dari Negara pemilik label produksi untuk kemudian dipasarkan secara global dengan harga tinggi. Hal ini membuat profit yang didapatkan Negara-negara pemilik modal sangat besar tetapi kontribusinya minim terhadap Negara berkembang.

Ironisnya iming-iming berupa peminjaman dana yang diajukan oleh Negara pemilik modal ke Negara berkembang dalam bentuk agreement terdapat persyaratan untuk membangun infrastruktur perusahaan multinasional yang akan dibentuk. Hal ini membuat Negara berkembang menanggung hutang perusahaan multinasional yang notabene bukan tanggung jawab dari Negara berkembang tersebut. Selain itu perusahaan multinasional mendapatkan akumulasi kapital dari murahnya biaya produksi.

Fenomena terbaru adalah menggelembungnya jumlah Negara pemegang perekonomian dunia (G8 menjadi G20 sebagai pusat maupun pemegang arus perputaran uang dunia) sehingga Negara berkembang (baca; selain Negara welfare state)turut serta dalam arus perekonomian dunia atau dalam artian bargaining position Negara berkembang menjadi lebih, mengingat salah satu keunggulan Negara berkembang adalah jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan Negara welfare state pada umumnya. Ada juga beberapa hipotesis yang masih diperdebatkan mengenai akan berpindahnya sentral perekonomian dunia menuju Asia pasifik akibat hal tersebut. Untuk mengakomodasi korporasi-korporasi multinasional itu terjadi pembentukan paradigma-paradigma baru dalam tatanan masyarakat global, sehingga memunculkan standarisasi dalam aspek kehidupan masyakat global di era demokrasi sosial. Bentuk-bentuk standarisasi tersebut antara lain: bahasa inggris sebagai bahasa internasional, adanya satuan internasional dalam bidang sains, adanya organisasi yang menangani masalah-masalah internasional (PBB), dll. Akhirnya Internasionalisasi menjadi salah satu superstruktur baru.

Selain itu, perkembangan tekhnologi juga menjadi faktor pendukung yang membuat arahan globalisasi semakin tidak menentu. Tekhnologi informasi dan transportasi telah merubah perspektif dan gaya hidup manusia secara keseluruhan. Jarak dan waktu bukan lagi menjadi permasalahan terutama dalam komunikasi. Arahannya jelas, arus informasi menjadi sangat deras dari satu belahan dunia menuju belahan dunia yang lain. Sehingga setiap belahan dunia akan saling mempengaruhi satu dan yang lainya. Ini menjelaskan keterkaitan bahwa setiap permasalahan ada pada setiap penjuru dunia akan saling mempengaruhi.Sehingga sebuah peristiwa di benua amerika bisa menjadi permasalahan di benua asia atau sebaliknya. Implikasi lain akibat cepatnya pergerakan arus informasi ialah berubahnya pola distribusi dalam trading mekanisme pasar, contoh nyata berupa banyaknya perusahaan yang menawarkan produknya secara langsung dalam jejaring internet (world wide web) sebagai pengganti unsur spasial atau kebutuhan akan dimensi ruang telah terkikis.

Hal ini semakin memfasilitasi masyarakat kontemporer menjadi sangat pragmatis atau dalam artian seseorang tidak perlu berpindah tempat untuk beraktifitas. Karena unsur-unsur ketidak pastian kian kompleks dunia diliputi konsekuensi maha besar (high consequence risk), dalam artian perkembangan teknologi bisa jadi sesuatu yang superdestruktif, Tekhnologi nuklir adalah sebuah realita objektif dimana tekhnologi memiliki sifat sangat konstruktif maupun sangat destruktif. Sebagai penyedia energi, tekhnologi nuklir sangat luar biasa tetapi dalam bidang militer perang nuklir akan membuat dunia berakhir dalam sekejap.

Salah satu fenomena ganjil dari segala kerancuan ini adalah terjadi depolarisasi ideologi. Perpindahan ini sangat jelas terlihat pada Negara Cina yang notabene beraliran komunis dan Negara Amerika Serikat yang merupakan penganut paham demokrasi liberal. Ditinjau dari sistem ekonomi, mekanisme pasar ala cina yang melakukan pembajakan secara massal dengan harapan mengurangi harga jual suatu produk,mengakibatkan banjirnya pasar dengan produk serupa dengan kulitas massal yang harganya sangat murah. Hal itu sama sekali tidak sesuai dengan mekanisme kekuatan produksi komunis ala Marx maupun Mao Tze Dong itu sendiri. Lain halnya dengan Amerika Serikat, Akibat expansi militer dengan dalih memusnahkan teroris serta dan senjata pemusnah massal, sistem pemerintahan Negara Amerika Serikat menjadi sangat terpusat dan tidak sedikit dari warganya yang turut dalam wajib militer. Fakta ini menunjukan bahwa Negara Amerika Serikat lebih cenderung seperti Negara komunis di bidang militer.

Ada hal lain yang tidak serta merta memiliki korespondensi maupun kontradiksi terhadap konstruksi yang tertera sebelumnya. Munculnya isu ekologi mengenai global warming memunculkan gerakan pecinta lingkungan. Munculnya kaum feminis yang mencoba mengangkat masalah emansipasi wanita dengan dalih demokrasi sosial dimana merupakan perwujudan dari egalitarianisme yang kuat, ini merupakan usaha dekonstruksi terhadap hegemoni budaya patriarkal (maskulin). Dan dibidang teknologi itu sendiri, muncul gerakan open source yang merupakan reaksi balik atas komersialisasi teknologi informasi yang didominasi oleh pihak Microsoft dan Macintosh. Komersialisasi tekhnologi adalah penjelmaan ‘tambang minyak’ baru di masa depan. Sebenarnya para aktivis gerakan opensource itu sendiri secara tidak sadar mulai berubah menjadi para reduksialis, yang mengarah pada unsur – unsur fanatisme terhadap opensource itu sendiri, tanpa adanya kesadaran bahwa sistem opensource dapat menekan biaya research and development perusahaan opensource itu sendiri. Contoh – contoh pergerakan itu sudah tidak dapat lagi di kategorikan sebagai pergerakan kiri atau kanan, sehingga runtuhlah seluruh konstruksi dualitas kiri dan kanan dan hal tersebut semakin membentuk sebuah ketidakpastian kompleks.




Tekhnologi sebagai katalisator manufactured uncertainty dalam kaitannya dengan sistem ekonomi neoliberal serta pengaruhnya terhadap generasi muda sebagai calon intelektual di perguruan tinggi


Asas-asas perkembangan teknologi sekarang sudah bergeser. Pada awalnya tujuan invensi teknologi adalah mengangkat kemanusiaan menuju enlightment (pencerahan) walaupun memiliki dampak sampingan berupa runtuhnya tradisi dan rusaknya ekologi. Tetapi pada fenomena kekinian, rekayasa teknologi malah cenderung pada pengubahan paradigma yang merubah pola alam bawah sadar manusia sehingga memiliki dampak langsung maupun tak langsung pada aspek tindakan,baik individual ataupun kolektif). Contoh kongkrit adalah bagaimana search engine semacam google serta menjamurnya situs jejaring sosial mampu mengubah paradigma masyarakat dalam menggunakan internet.

Dewasa ini transformasi teknologi telah menjadi hegemoni sosial baru baik dengan tujuan komersil maupun non komersil, jelas terlihat implikasi yang terjadi pada tujuan komersil berupa sebuah surplus value, nilai agronomis produk dengan orientasi komersil menjadikannya katalisator penciptaan hasrat-hasrat baru sebagai wujud kapitalime posindustrial berupa branding yang menjadi trendsetter dalam mainstream lifestyle masyarakat.

Teknologi secara langsung mempermudah kehidupan manusia tetapi di sisi lain membuat titik kemapanan baru dalam kehidupan manusia. Jika kalangan dandies (pesolek) dalam paradigma teknologi baru ini jumlahnya semakin meningkat, hal ini akan membuat sebuah adiksi baru dalam kehidupan masyarakat tanpa tahu bahwa itu semua hanyalah mekanisme pasar. Banyak produk teknologi yang pengunaannya tidak sesuai dengan kebutuhan akan teknologi itu sendiri. Dalam hal ini salah satu contoh kongkritnya adalah pengguna blackberry yang meningkat pesat dengan pengguna terbesar adalah kalangan pemuda dengan strata sosial menengah ke atas yang masih duduk di bangku pendidikan (akademikus). Ini cukup membuktikan bahwa manufaktur teknologi tidak lagi hanya digunakan untuk tujuan mempermudah kehidupan tetapi bergeser menjadi jalan pemenuhan hasrat eksistensial untuk menunjukkan strata sosial maupun lifestyle.

Ketika pola tindakan diatas bersifat rekursif (berulang-ulang) pada perkembangan selanjutnya akan berkembang menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Akumulasi dari kebiasaan-kebiasaan akan berkembang menjadi karakter seorang individu. Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah, apabila hal tersebut membuat seorang individu tidak mampu menyadari atau memahami karakternya sendiri, kecuali ia mulai mempertanyakannya. Hal ini semakin dikatalis dengan penggunaan teknologi yang mendorong pragmatisasi sehingga arti penting pembelajaran akan proses menjadi pudar. Pola masyarakat pragmatis ini akan menjadi sebuah substruktur dalam superstruktur internasionalisasi.

Pola tersebut disadari atau tidak, membuka peluang-peluang menuju degradasi baru di kalangan generasi muda kekinian. Hal ini menjadi fenomena tersendiri berupa kemunculan polemik suprastruktural-infrastruktural yang mengarah pada degradasi generasi muda secara sosial maupun intelektual dengan skala global. Seharusnya generasi muda bersifat progresif sehingga mempunyai cara pandang dan langkah – langkah strategis dalam menyikapi arah dari perkembangan zaman. Namun akibat hilangnya paradigma akan "anti kemapanan", tidak sedikit dari generasi muda yang kehilangan visi maupun semangat mengusung perubahan dalam rangka membentuk tatanan dunia baru yang lebih baik.






Bentuk Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara sebagai langkah penyesuaian terhadap sistem ekonomi neoliberal di era globalisasi

Telah disinggung sebelumnya kaitan mengenai internasionalisasi sebagai sebuah super struktur dengan adanya free-trade (pasar bebas). Jika kita tinjau lebih mendalam, awalnya free-trade bertujuan agar terjadi kemakmuran yang merata di seluruh dunia. Menurut David Ricardo, perbedaan potensi sumber daya alam suatu negara akan membuat negara tersebut memiliki sebuah comparative advantage ( perbandingan keuntungan) yang bersifat relatif terhadap Negara lain. Akibat adanya perbedaan ciri khas bahan baku yang dapat disediakan oleh suatu Negara, Negara tersebut memiliki fungsi special sebagai penyedia bahan baku tertentu. Divergensi dalam penyediaan bahan baku ini menyebabkan tidak meratanya bahan baku yang dibutuhkan dalam proses-proses produksi di Negara lain.

Dengan adanya mekanisme free trade diharapkan proses distribusi bahan baku bisa semakin merata karena adanya kemudahan akibat dari minimnya aturan birokrasi dan regulasi dari pemerintah dalam pengaturan pola-pola pendistribusian bahan baku antar Negara anggota free trade. Hal ini secara tidak langsung akan menguatkan sistem ekonomi neoliberal karena adanya indikasi berupa semakin berkurangnya peran Negara dalam mekanisme pasar itu sendiri. Agar suatu Negara mendapatkan peran dalam proses free trade maka Negara tersebut harus memenuhi segala persyaratan keanggotaan. Dimana salah satu persyaratan utama keanggotaan dalam free trade adalah mempunyai sesuatu yang bisa ditawarkan dalam mekanisme free trade itu sendiri.

Jumlah anggota free trade masih terlalu sedikit dan dirasa hal ini masih terlalu jauh dari tujuan awal free trade itu sendiri, terutama Negara-negara yang dilabeli sebagai Negara dunia ketiga sebagian besar adalah Negara yang memiliki potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang relatif besar. Hal ini dianggap sebagai halangan dalam mekanisme perdagangan bebas sehingga diambil langkah-langkah penyesuaian berupa persyaratan keanggotaan yang bersifat fleksibel sehingga bisa dipenuhi oleh Negara dunia ketiga. Indikasinya adalah adanya perubahan konstruksi organisasi yang berperan sebagai pengatur regulasi free trade. Dari International Trade Organization (ITO) berubah menjadi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sampai menjadi World Trade Organization (WTO).

Sebuah masalah baru muncul akibat adanya perbedaan maupun pertentangan antara regulasi internal Negara anggota WTO dan regulasi WTO itu sendiri. Namun meskipun regulasi tersebut dirasa tidak cocok dengan peraturan Negara tersebut, Negara anggota WTO harus tetap mematuhinya, dan apabila terjadi pelanggaran, WTO berhak memberikan sanksi. Pergeseran paradigma tidak hanya pada sisi konstruksi organisasi saja tetapi juga pada motivasi free trade. Hal ini ditandai dengan adanya mekanisme labelling dimana terjadi penambahan akumulasi kapital (baca; surplus value) akibat perbedaan kemajuan teknologi dengan jalan mengolah kembali suatu bahan baku yang menjadi spesialisasi Negara lain untuk selanjutnya manufaktur bahan baku itu memilki nilai tambah. Ironisnya hasil manufaktur bahan mentah ini untuk selanjutnya di-ekspor dalam skala global hingga Negara penyedia asal bahan baku. Akibatnya hasil produk olahan bahan baku mentah dikenal sebagai komoditas paten Negara pemilik label. Dari sini terlihat bahwa Negara pemilik label memiliki fungsi spesialisasi turunan berupa penyedia bahan baku olahan yang sudah dipatenkan.

WTO juga mengatur regulasi mengenai pembatasan skala export maupun import dalam mekanisme trading antar Negara. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan monopoli perdagangan berupa absorbsi besar-besaran bahan baku mentah maupun komoditi lain, antar Negara anggota WTO. Sehingga WTO juga berperan dalam mengatur kebijakan pemerintahan Negara anggota WTO yang berkaitan dengan subsidi. Tidak tanggung-tanggung, Negara adidaya sekelas Amerika Serikat pernah dikenai peringatan keras akibat pemberian biaya subsidi sebesar 30% kepada para exportirnya karena hal ini akan merusak sector export dalam mekanisme free trade secara global. Jika hal tersebut tidak segera ditindak lanjuti oleh Negara yang bersangkutan, pemberian sangsi berupa embargo maupun dikeluarkan dari keanggotaan WTO.
Fenomena tersebut menunjukkan adanya strukturasi akibat WTO telah menjadi agen yang dapat merubah atau melakukan apropriasi transformatif terhadap struktur dominanconsumires( konsumtif) yang mungkin adalah karakter hasil tatanan poskolonial juga menjadi faktor determinan sehingga Negara Indonesia menjadi pasar yang potensial dalam mekanisme pasar bebas (free tra yang ada sebelumnya yaitu Negara. Negara Indonesia adalah salah satu anggota World Trade Organization, otomatis Indonesia harus mengadopsi dan mengintegrasikan regulasi-regulasi WTO ke dalam regulasi Negara Indonesia. Walaupun Negara Indonesia juga dikenal Negara yang kaya akan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya, serta potensi lainya berupa letak yang strategis,wilayah yang luas, dan keanekaragaman kultur. Indonesia masih belum mampu untuk meninggalkan pola produksi yang bersifat ekstraktif. Selain itu pola masyarakat de). Dengan segala keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya, Indonesia sebagai salah satu Negara yang dilabeli sebagai Negara dunia ketiga dipandang sebagai Negara yang berpotensi besar dalam menghasilkan akumulasi kapital oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

 Hegemoni Negara-negara welfare state telah mengubah paradigma kemakmuran dan kesejahteraan dimana perekonomian menjadi struktur dominan dalam penciptaan kondisi masyarakat yang makmur, aman dan sejahtera. Dengan adanya pergeseran orientasi menuju ke Negara-negara welfare state sebagai role model. sektor perekonomian kini dipandang sebagai salah satu pondasi utama kesejahteraan Negara, oleh karena itu Indonesia melihat peluang pasar bebas sebagai salah satu jalan keluar berupa penarikan investor asing dalam rangka menghadapi globalisasi.
Masalah-masalah sosial masyarakat berupa tingginya angka pengangguran dengan kualitas sumber daya manusia rendah serta diikuti dengan lemahnya kekutan finansial Negara untuk mengolah sumberdaya alam secara independent membuat upaya merangkul investor asing adalah alternatif jalan solusi. diharapkan adanya pembangunan infrastruktur yang dirasa mampu meningkatkan mutu sumber daya manusia serta lapangan kerja masiv. Langkah menarik investor asing diambil sebagai salah satu langkah solutif dalam membangun konstruksi perekonomian, dengan harapan munculnya lapangan kerja untuk rakyat dimana hal tersebut berimplikasi lebih lanjut pada pengurangan tingkat kemiskinan dan berujung pada peningkatan kesejahteraan secara general (peningkatan pendapatan per-kapita). Dengan segala alasan tersebutlah Indonesia memutuskan untuk ikut andil dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) dengan segala regulasinya.

Dengan adanya orientasi sebuah Negara yang memperkuat struktur ekonominya, struktur lain juga mendapakatkan imbas dan kaitan-nya dalam sistem pendidikan Indonesia. Sehingga terjadi sebuah sublasi dalam konstruksi sistem pendidikan di Indonesia. Role model Negara welfare state mengenai kemakmuran dan kesejahteraan secara tidak langsung memiliki efek samping berupa patronisasi segala bentuk intitusi, organisasi dan kelembagaan yang berada di Negara-negara welfare state. Selain itu dependensi universitas terhadap subsidi pendidikan dari pemerintah perlu mendapatkan penyesuaian, karena salah satu fungsi subsidi sebagai penekan biaya operasional dalam rangka normalisasi harga agar dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat, cenderung diarahkan pada sektor-sektor ekonomi. Sehingga penyesuaian akan subsidi juga terjadi pada sektor pendidikan.

Jika kita telaah lagi, WTO secara pasif mempengaruhi arah pengambilan kebijakan Negara anggota WTO mengenai subsidi. Selain itu dampak-dampak pasif juga terkait akibat adanya Negara walfare state sebagai acuan role model sehingga menyebabkan kebijakan-kebijakan berupa perubahan sistem dalam rangka penyesuaian terhadap kondisi global. Begitu pula yang terjadi pada sistem pendidikan universitas di Indonesia. Di Negara welfare state universitas memiliki kecenderungan sifat – sifat mandiri terhadap pemerintah dan spesialisasi sejak dini.

Tetapi tentunya telah ada prakondisi yang mendukung agar sistem terebut dapat diimplementasikan dengan baik. Prakondisi itu menyangkut taraf perekonomian, pola pikir (open minded),tingkat kesadaran, kepekaan serta kemajuan teknologi masyarakatnya. Sehingga pemodelan sistem untuk selanjutnya diaplikasikan yang mengadopsi struktur sistem pendidikan universitas di Negara-negara welfare state merupakan kebijakan dalam rangka penyesuaian terhadap perubahan arah penguatan yang cenderung pada sektor ekonomi. Menurut hemat saya, hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya implementasi BHMN dalam sistem perguruan tinggi di Indonesia.

Jika sistem pendidikan universitas di Negara welfare state mampu melahirkan individu-individu yang unggul dan berkemampuan lebih di bidangnya sehingga mampu memperkuat struktur perekonomian negaranya dimana rata-rata populasi penduduk Negara walfare state relatif kecil, tentunya dengan prakondisi tertentu yang telah dipenuhi kita bisa membayangkan jika ini diterapkan di Indonesia yang menjadi salah satu Negara dengan jumlah populasi terbesar di dunia. Salah satu sokongan terbesar dalam struktur perekonomian Indonesia adalah Usaha Kecil Menengah (UKM).


Saya rasa cukup beralasan jika sistem pendidikan universitas di Negara welfare state diadaptasi untuk selanjutnya diterapkan dalam bentuk PT-BHMN dengan arahan menjadi entrepreneurial university. Dengan adanya arahan sebagai entrepreneurial university, diharapkan lulusannya mampu menciptakan enterprise-enterprise baru yang mampu memperkuat peran UKM dalam konstelasi system perekonomian Indonesia dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Mungkin hal ini semakin diperkuat dengan adanya langkah pemerintah berupa peningkatan jumlah sekolah menengah kejuruan yang semakin menguatkan peran UKM sebagai salah satu basis perekonomian Indonesia berupa tersedianya tenaga kerja terlatih-siap pakai untuk menyuplai sektor UKM itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa bentuk PT-BHMN yang dijalankan secara benar dapat menjadi salah satu sarana pendukung penguatan struktur ekonomi Indonesia.

Dalam rangka penguatan struktur ekonomi Indonesia dilakukan sebuah perubahan level antara komponen makro-mikronya. Diharapkan UKM mampu menggeser dominasi usaha dengan skala modal besar dimana sebagian besar adalah perusahaan multinasional. Harapannya di masa depan ketergantungan Indonesia terhadap perusahaan multinasional bisa berakhir dan UKM melakukan counter hegemony terhadap perusahaan multinasional tersebut. Sehingga Indonesia di masa mendatang mampu menjadi produsen dan menyuplai kebutuhannya sendiri dan untuk selanjutnya mampu bersaing pada tataran global. Tentunya harapan tersebut harus memenuhi prakondisi sosio-kultur masyarakat yang mendukung.


Jika prakondisi-prakondisi tersebut tidak dipenuhi, tidak tertutup kemungkinan PT-BHMN hanya menjadi produsen sarjana dengan jumlah dan kualitas massal, dan menjadi bumerang bagi Negara Indonesia karena berpeluang besar menambah angka pengangguran. Salah satu faktor yang harus dihindari adalah pola hidup konsumtif-pragmatistik di kalangan mahasiswa karena mahasiswa berperan sebagai intelektual masyarakat. Ditakutkan Indonesia nantinya hanya menjadi penyedia tenaga kerja murah dalam skala massal yang menyokong perusahaan-perusahaan multinasional. Implementasi yang salah dalam sistem ini juga dapat menyebabkan implikasi lebih lanjut berupa stagnasi ekonomi.

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara, dimana dalam bab satu mengenai ketentuan umum, pada pasal 1 disebutkan Otonomi Pendidikan Tinggi adalah kewenangan Perguruan Tinggi Negeri untuk mengatur dan mengurus secara mandiri penyelenggaraan layanan Tridharma Pendidikan Tinggi serta tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku Ini berarti perguruan tinggi negeri mendapatkan otoritas penuh atas pengelolaan segala sumberdaya yang ada didalam perguruan tinggi itu sendiri. Sehingga secara tidak langsung, terjadi perubahan pula dalam tata cara pengelolaan keuangan perguruan tinggi tersebut. Dalam pasal 1 selanjutnya juga dijelaskan bahwa perguruan tinggi BHMN bersifat nirlaba.


Walaupun bersifat nirlaba, mau tidak mau karena tuntutan bentuk pengelolaan keuangan yang bersifat mandiri, perguruan tinggi tersebut akan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan PT-BHPMN itu sendiri. Seperti tertera pada bab III mengenai sumber pendapatan PT-BHMN, sumbangan biaya pendidikan yang dibayar oleh mahasiswa yang terkait dalam dana Masyarakat sebagai salah satu sumber keuangan tertera dalam bab tersebut. Imbasnya berupa kenaikan signifikan biaya pendidikan. Dengan adanya regulasi tersebut semua universitas negeri harus memenuhi persyaratan UU BHMN berupa, memiliki sumber finansial mandiri, penguatan infrastrukstur dan sistem akreditasi yang mempercepat masa studi mahasiswa. 


Selain itu naiknya biaya pendidikan di tingkatan universitas, membentuk kecenderungan baru bahwa orang – orang yang mampu belajar di unversitas adalah dari strata menengah ke atas. Berbeda dengan paradigma universitas di luar negeri dimana tidak semua orang akan mengenyam pendidikan universitas, sedangkan di Indonesia semua kalangan yang kuat dalam segi finansial lebih berpeluang besar mengenyam pendidikan unversitas. Hal ini membuat absorbsi universitas terhadap mahasiswa baru meningkat pesat mengingat bentuk profesionalisme sebuah universitas sebagai badan hukum sehingga mampu meninggalkan dependensi secara finansial terhadap subsidi pendidikan oleh pemerintah.

Menurut hemat saya, fenomena yang disebutkan oleh paragraf diatas masih berada dalam batas kewajaran mengingat kondisi yang ada sekarang merupakan masa transisi terhadap penyesuaian kebijakan pemerintah yang sedang memperkuat struktur ekonominya. Tentunya harus ada peningkatan dan pengendalian mutu yang berjalan secara berkesinambungan disertai dengan upaya berkelanjutan dalam pemenuhan segala prakondisi yang disyaratkan agar sistem yang telah ada berjalan dengan optimal dan sesuai dengan perencaaan awal.






Paradigma terinstitusi bawah sadar” antara golongan menengah keatas dan menengah ke bawah dalam kaitannya dengan sistem ekonomi neoliberal dan sistem pendidikan universitas serta relevansinya terhadap sebuah metode dekonstruksi
“Will—so is the emancipator and joy-bringer called: thus have I taught you, my friends! But now learn this likewise: the Will itself is still a prisoner ”


-Friedrich Nietzsche : Thus Spoke Zarathustra -

   Aforisma Nietzsche diatas secara implisit menunjukkan bahwa yang mendasari visi manusia adalah will to power (kehendak untuk berkuasa) tetapi jika manusia tersebut menganggap kehendak adalah sesuatu yang absolut maka ia membatasi dirinya sendiri atau mengalienasi dirinya terhadap realitas obyektif yang ada. Menurut Nietzsche anti-kemapanan adalah sifat mendasar yang dibutuhkan untuk kemajuan umat manusia. Nietzsche juga beranggapan bahwa orang yang memiliki will to power adalah seorang manusia unggul (ubermensch),dengan kata lain menurut Nietzsche manusia tanpa kehendak untuk berkuasa adalah manusia tanpa visi yang menghambat kemajuan umat manusia itu sendiri.


Sesuatu yang tidak dimiliki oleh masyarakat dalam strata ekonomi menengah ke atas pada umumnya ialah pemikiran radikal, progresif serta anti-kemapanan. Friedrich Nietzsche juga secara tidak langsung mengatakan bahwa semakin tertekan individu maka invidu tersebut akan semakin kuat. Ini cukup berkaitan mengingat intensitas problematika survival masyarakat kalangan tersebut cukup minim. Secara general jumlah masyarakat strata ekonomi menengah ke bawah jauh lebih besar dari pada menengah ke atas. jika diharapkan alumni dari universitas yang menentukan nasib bangsa ini, sungguh ironis jika para pemimpin adalah kalangan pragmatis yang mementingkan kepentingan golongan tertentu saja, mengingat terjadi perbedaan mengenai orientasi pemenuhan kebutuhan primer antara golongan menengah keatas dan golongan menengah ke bawah. Secara tidak langsung hal ini akan memperlebar jurang pemisah antar strata sosial (kesenjangan) sehingga peluang terjadinya perjuangan antar strata sosial semakin besar.

Menurut Karl Marx bentuk-bentuk perjuangan kelas banyak dan bervariasi. Bentuk-bentuk itu terentang dari manipulasi tersembunyi sampai konflik terang-terangan dari konfrontasi langsung antara dua kelas yang terlibat dalam suatu hubungan penindasan atau dominasi atas formasi aliansi yang kompleks yang melibatkan tiga atau lebih kelas. Kepentingan-kepentingan antara berbagai kelompok mungkin berseberangan secara frontal atau memiliki kesamaan dalam beberapa hal tertentu.

Arena perjuangan kelas ini bisa berupa sebuah perusahaan, suatu cabang produksi atau sistem politik, sementara taruhannya bisa terentang dari upah sampai penciptaan kembali hubungan-hubungan produksi yang sama sekali baru. Apa yang menyebabkan konflik menjadi perjuangan antar kelas adalah, pertama, bahwa kelompok-kelompok yang terlibat adalah kelas-kelas dan yang kedua, bahwa tujuan-tujuan perjuangan ini adalah kepentingan-kepentingan yang mereka perebutkan sebagai kelas-kelas, bukan sebagai, katakanlah, warga Negara atau kelompok-kelompok etnis. Paradigma terinstitusi bawah sadar berupa pola pikir suatu kelas semakin dominan dengan banyaknya referensi yang beredar dimasyarakat terkait dengan hal tersebut.

Seperti pada buku Robert T Kiyosaki yang berjudul Rich Dan and Poor Dad , dimana buku tersebut menjadi acuan paradigm shift masyarakat kontemporer (terutama kalangan menengah keatas) mengatakan bahwa ada perbedaan ideologi dan metodologi yang diajarkan seorang rich dad dan poor dad kepada anaknya. Seorang poor dad mengajarkan pada anaknya tentang konsepsi kebahagiaan yang bersifat transenden dan cenderung absurd, berbeda dengan rich dad yang membuat konsepsi kebahagiaan pada ranah materialistik. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa rich dad membatasi pemikiran karena adanya orientasi kebahagiaan berupa materi (uang, aset, kekuasaan ,dll) berkebalikan dengan rich dad, seorang poor dad mengajarkan kebahagiaan sebagai sesuatu yang multiinterpretatif, dimana orientasi relativ subyek berperan dalam pencarian kebahagiaan. Yang perlu diperhatikan adalah pola pemikiran yang terbentuk pada masing-masing keturunan pihak tersebut. Justru usaha-usaha anti-kemapanan terhadap pencapaian status finansial lebih kentara pada metodologis rich dad. Sedangkan keturunan seorang poor dad cenderung memiliki pola pikir open minded sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk belajar dari seorang rich dad dan mensintesiskan keduanya untuk selanjutnya menghasilkan konsepsi baru. Dan ini semua sangatlah relatif terhadap intelektualitas individu masing-masing keturunan. Hal tersebut adalah sesuatu yang perlu diperhatikan dikarenakan strata menengah keatas yang akan menjadi input terbesar dalam sistem perguruan tinggi BHMN. Bukan berarti hal tersebut buruk, tetapi perlu sebuah metode penyesuaian dalam rangka transisi menuju sistem pendidikan yang baru. Mungkin dekonstruksi terhadap paradigma sistem pendidikan lama adalah salah satu alternative solusi terhadap hegemoni paradigma terinstitusi bawah sadar antar strata sosial.


“through the rigorous examination of history we can see that the present situation in any domain is not set in stone and is merely the product of a whole collections of actions and decisions made by many people over a long period of time. Things have not always been as they are now and can be changed even at the most mundane and seemingly insignificant levels so that they eventually become different tomorrow.”

-Michel Foucault - Madness and Civilization 





Disini terlihat jelas bahwa Foucault mengatakan bahwa tatanan suprastruktural-infrastruktural yang mendominasi tatanan mainstream masyarakat global bisa didekonstruksikan, termasuk paradigma liberalistik-laizzes faire baru yang dibentuk oleh Bill Gates, Robert T Kiyosaki, Donald Trump, Jack Trout,dkk. Bisa dikatakan bahwa pattern yang diutarakan oleh Robert T Kiyosaki telah menginstitusi secara referensial dalam ranah bawah sadar (unconscious text). Selanjutnya berdasar pada konsepsi Foucault pola-pola yang telah dijelaskan sebelumnya bisa didekonstruksi ulang menjadi rumusan lebih sesuai dengan arah perkembangan zaman dan kemanusiaan untuk selanjutnya dalam sistem pendidikan universitas di Indonesia.






Arti penting kedewasaan dan kaitannya terhadap “paradigma terinstitusi bawah sadar”

Menurut hemat saya, fase perkuliahan adalah fase transisi pola pikir dari seorang siswa menjadi mahasiswa. Fase transisi ini memiliki nilai vital dalam proses transformasi menuju kedewasaan, dalam artian seseorang dikatakan dewasa bila siap bertanggung-jawab , sadar, serta paham dengan segala tindakan yang akan maupun sudah dilakukannya sehingga dalam interval waktu lebih lanjut seorang individu akan mampu memahami segala perbedaan dan menyikapinya secara bijaksana (open minded) . Menurut Graham Allport dan Catrell bila ditinjau dari pisau bedah psikologi terapan, pada dasarnya seorang individu mengalami proses pencarian dan adaptasi trait (konsistensi respon terhadap suatu permasalahan) yang stabil pada usia 18 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 40 tahun, di dalam rentang antara 18-24 tahun (usia mahasiswa pada umumnya) merupakan fase penting yang menjadi gerbang awal menuju pendewasaan diri seseorang. Jika dalam fase ini seseorang belum mencapai tataran pola pikir dewasa seseorang akan cenderung berpikiran konservatif dan akhirnya menuju fanatisme sempit. contoh kongkritnya adalah konsep probinmaba di fakultas teknik tempat saya kuliah pada saat ini, yang cenderung sama atau tidak ada perubahan seiring dengan perubahan zaman tanpa adanya kemauan untuk memahami secara mendalam esensi dari konsep probinmaba itu sendiri. Sehingga tidak dapat dipungkiri terjadi degradasi esensi karena lemahnya regenerasi serta minimnya pemahaman konsep. Ironisnya mahasiswa cukup puas dalam melakukan serangkaian kegiatan tanpa menyadari dan mengetahui maksud dan tujuannya.


Fenomena diatas menunjukkan sebuah pola degradasi internal kampus mengingat probinmaba merupakan salah satu metodologi untuk mempercepat proses kedewasaan para pelakunya. Katalisator proses pendewasaan yang lain adalah pengalaman survival yang lahir dari dinamika kehidupan. Penyikapan-penyikapan terhadap dinamika kehidupan secara bijaksana adalah proses pendewasaan naturalnya. Sebuah tatanan masyarakat yang dewasa akan memiliki keseimbangan dalam refleksivitas dan solidaritas sehingga permasalahan-permasalahan non-esensial yang terjadi di masyarakat akan terminimalisir. Salah satu bentuk penyikapan permasalahan sosial yang dihasilkan dari fanatisme sempit adalah vandalisme (pembalasan secara fisik) yang menjamur di kehidupan sosio-kultur yang konformis. Dari sini kita bisa menekankan arti penting kedewasaan.

Menurut Sigmund Freud, Oedipus complex adalah fase dimana seorang anak belum mampu menentukan sendiri kebenaran atas dirinya, Dalam artian orang tua lah yang menentukan kebenarannya (deterministic truth). Dalam konstruksi Freud ini disebut superego. Seorang anak tanpa didasari pemahaman dan kesadaran akan menerima segala kebenaran subjektif dari orang tuanya. Ketakutan akan konsekuensi akibat penolakan kebenaran subjektif orang tua adalah motivasi utama seorang anak cenderung bersifat patuh terhadap konstruksi superego orang tua disamping ancaman transendental-kultural (seorang anak yang melawan kebenaran subjektif orang tua dianggap durhaka tetapi disisi lain kebenaran bersifat relatif). Tanpa disadari konstruksi inilah yang membentuk “paradigma terinstitusi bawah sadar” awal seseorang.

Konstruksi tersebut mengakibatkan seseorang menjadi takut untuk dewasa dan menghadapi realita kehidupan, dengan alasan pembenaran berupa kebenaran subjektif orang tua adalah yang terbaik tanpa didasari oleh pemahaman terhadap realita yang ada. Bila hal tersebut terjadi secara berulang-ulang (bersifat rekursif) secara tidak sadar hal tersebut berkembang menjadi kebiasaan (habitual) dan berkembang menjadi karakter dasar yang menginstitusi dirinya sendiri. Hal ini akan semakin menghalangi proses peningkatan level kesadaran dan pemahaman seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Kondisi ekstrimnya seseorang tidak menyadari permasalahan atas dirinya serta hilangnya kehendak, mimpi dan harapan seseorang untuk selalu menjadi lebih baik.


 Stockholm syndrome adalah kondisi dimana manusia terlena oleh otoritas walaupun otoritas tersebut melakukan represi baik secara langsung maupun tidak langsung (fisik maupun mental) . Pada kasuistik ini indikasinya berupa ketakutan manusia untuk merdeka. Fenomena ini pertama kali disebutkan oleh Fyodor Dostoyevsky lewat bukunya yang berjudul The Brother of Karamazov. Bila ditinjau di tataran pola hubungan sosio-kultural masyarakat, Stockholm syndrome (takut untuk merdeka) menurut saya terjadi sampai di substansi-substansi terkecil masyarakat (baca; keluarga). Kaitannya adalah dalam pola hubungan triadic ibu-ayah-anak.


Hal-hal yang disebutkan diatas tidak berlaku pada kondisi sosio-kultural masyarakat yang mempunyai pemikiran terbuka. Disamping itu, sudut pandang bahwa setiap orang memiliki potensi dan kesadaran terhadap perbedaan sebagai suatu hal yang lumrah membuat masyarakat cenderung menyikapi permasalahan sosial dengan bijaksana. Ini terkait dengan pola pembinaan terhadap penyimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Segala bentuk pemberontakan akan dipandang sebagai sarana pemenuhan hasrat eksistensial sehingga penyikapannya tidak menggunakan metode character assassination tetapi segala bentuk pemberontakan akan dipandang sebagai bentuk-bentuk kreativitas yang untuk selanjutnya bisa diarahkan menuju penciptaan inovasi baru. Contoh kongkritnya adalah seorang Kevin Mitnick yang dulunya adalah seorang pelaku cybercrime kelas dunia kini menjadi penanggung jawab sistem keamanan jaringan informasi kelas dunia melalui pengarahan yang tepat.






Sistem pendidikan dua arah yang mengakomodasi pembangunan kesadaran sebagai jalan pembebasan atas “paradigma terinstitusi bawah sadar”
  
Andaikan kita adalah orang yang baru di New York city dimana New York city adalah salah satu kota terbesar di dunia, lalu kita ingin menuju ke suatu tempat Kita bisa membayangkan betapa rumit dan banyaknya jalan yang ada. Hal ini memperbesar peluang kita untuk tersesat. Perlukah kita menghafal semua jalan yang ada di New York hanya untuk menuju ke suatu alamat yang kita tuju ? Coba kita bandingkan apabila kita mendatangi salah satu gedung tertinggi di New York city. Dan ketika kita berada di puncak gedung tersebut tentunya kita dapat melihat gambaran luas kota New York itu sendiri. Dari gambaran luas tersebut kita bisa memetakan kota new York untuk kemudian membaginya menjadi wilayah-wilayah kecil yang mempermudah kita untuk mencari acuan rute menuju tempat yang kita inginkan.

Gambaran luas kota New York yang disebutkan diatas adalah analogi dari visi seseorang. Seseorang cenderung tidak memiliki visi ketika tidak ada gambaran luas mengenai sesuatu yang dipelajari dan dipahami orang tersebut. Dan apalah artinya visi tanpa adanya acuan pencapaian dan jalur-jalur menuju visi itu sendiri. Pola-pola pengajaran yang ada pada umumnya menekankan para peserta didik untuk menghapalkan semua postulat dan aksioma-aksioma (hipotesis) keilmuan tanpa memahami proses penciptaan postulat dan aksioma-aksioma tersebut. Tanpa disadari hal ini membiasakan seseorang belajar tanpa mengetahui esensi dan tujuannya. Dalam rentang waktu pendek hal ini bukanlah menjadi masalah, tetapi akumulasi pada rentang waktu yang panjang akan membuat perkembangan penemuan hal-hal baru (invensi) di bidang keilmuan mati. Secara tidak langsung proses pembelajaran pragmatis tanpa adanya visi serta pemahaman konseptual yang mendalam akan mematikan kreativitas di bidang keilmuan. Tetapi proses tersebut akan memakan waktu yang lebih lama.

Proses terbentuknya visi akan mempengaruhi proses pembentukan pola pikir seseorang. Sebuah pola pikir tanpa adanya visi tidak akan mampu mengatasi permasalahan realita kehidupan. Seseorang yang tanpa visi tidak akan mampu mengatasi variasi permasalahan-permasalahan turunan. Untuk mendapatkan visi tentunya diperlukan pemahaman yang mendalam akan sesuatu, sehingga pola-pola baru yang merupakan variasi permasalahan fundamental akan dapat dibagi menjadi beberapa spesifikasi secara hierarkis tergantung pada skala prioritas untuk selanjutnya dicari solusi terbaik. Sehingga proses mencapai orisinalitas hanya bisa didapat dari serangkaian proses pemahaman mendalam yang diperkuat oleh visi serta ditunjang oleh pola pikir yang tidak terinstitusi oleh sebuah pola permasalahan maupun paradigma yang ada (out of the box).

Sampai saat ini, sepeninggal Sir. Isaac Newton dan Albert Einstein praktis tidak ada lagi sebuah pencapaian yang merubah dunia. Menurut saya mereka adalah orang-orang yang memiliki pemahaman lebih sehingga memiliki kesadaran lebih yang membuat tingkat kepekaannya pada gejala-gejala sekitar yang dianggap oleh orang lain sebagai kebenaran umum menjadi sebuah konsep revolusioner yang bersifat universal, dimana konsep tersebut mampu menguak rahasia alam semesta untuk selanjutnya turut andil dalam merubah peradaban manusia. Kita bisa membayangkan betapa terbatasnya sarana informasi untuk memperoleh teks-teks keilmuan pada zaman tersebut. Jika kita bandingkan dengan segala kemudahan yang tersedia di zaman sekarang seharusnya kita bisa membuat sesuatu yang beberapa kali lebih revolusioner.

Proses-proses penginstitusian pola pikir dan paradigma tanpa disadari telah membatasi manusia dalam mengaktualisasikan dirinya sehingga diperlukan sebuah perubahan dalam tata cara pengajaran. Perlu disadari pentingnya sistem pendidikan yang mengakomodasi kesadaran dengan harapan akan terlahir individu-individu dewasa yang akan menyokong struktur sosio-kultural masyarakat dengan pemikiran-pemikiran multi-dimensional dan terbuka (open minded). Kita bisa memulai hal tersebut dari unsur-unsur terkecil dalam sistem pendidikan itu sendiri yaitu proses belajar-mengajar. Student Centered Learning (SCL) mungkin bisa diadaptasi untuk selanjutnya di-implementasi-kan.

Metode konvensional yang selama ini diterapkan dalam proses belajar-mengajar dimana pengajar (instructor) sebagai pusat pembelajaran (baca; transfer wacana pengajar ke peserta didik). Jika para peserta didik mencoba meninjau kembali “transfer wacana” yang diberikan oleh pihak pengajar sehingga secara natural mereka dapat mensintesakannya untuk selanjutnya memahami sistematika berpikir akan wacana tersebut maka tidak ada yang salah. Ironisnya hal ini dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa padahal di tinjau dari metode konvensional tersebut ini adalah barang biasa. Dari sini kita bisa melihat pola-pola generalisasi pada sistematika berpikir sehingga terlihat jelas gejala degenerasi dimana hal yang luar biasa sulit dicapai oleh sistematika berpikir yang general. Tanpa disadari arti penting pengajaran sistematika berpikir telah terkikis.

Arti penting pengajaran sistematika berpikir saya rasa adalah suatu hal yang perlu direformasi untuk selanjutnya dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam proses belajar-mengajar. Informasi yang diwacanakan pada peserta didik diposisikan sebagai acuan yang harus dipunyai oleh peserta didik sebagai standar kompetensi minimum. Disini tidak ada pembatasan dalam proses untuk memenuhi standar kompentesi minimum tersebut dan pengajar bertanggung-jawab untuk memberikan arahan yang benar. Diharapkan proses pembelajaran yang terjadi berjalan dua arah sehingga pengajar dan peserta didik akan sama-sama belajar. Secara tidak langsung akan terjadi pergeseran posisi pengajar sebagai pusat pembelajaran karena selain memfasilitasi dan mengakomodasi peserta didik, pengajar juga bisa belajar dari peserta didik. Tentunya proses ini akan memakan waktu yang cukup lama sehingga alangkah baiknya jika penjelasan visi dan spesialisasi berdasarkan minat dan bakat dilakukan sejak dini. Hal ini dimaksudkan agar dikemudian hari saat peserta didik mendalami suatu keilmuan, peserta didik tersebut akan menikmati proses belajarnya dan tidak ada penyesalan di masa mendatang.sehingga generasi muda yang terbentuk akan memiliki cara pandang dan langkah – langkah strategis dalam menyikapi arah dari perkembangan zaman. Mungkin dengan implementasi yang disesuaikan, sistem pendidikan dua arah yang mengakomodasi pembangunan kesadaran sebagai jalan pembebasan atas “paradigma terinstitusi bawah sadar” adalah salah satu alternatif pola pengajaran dalam upaya pendewasaan dalam menjalani sistem Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.






Perguan Tinggi Badan Hukum Milik Negara? Inilah utopia ku…
Sistem dibuat menyesuaikan dengan kondisi sosio-kultural dan keadaan masyarakat pada waktu tertentu, diharapkan dengan adanya sistem yang sesuai maka akan terbentuk tatanan masyarakat yang ideal dimana sistem tersebut berkembang secara dinamis menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di tiap-tiap waktu tertentu. Para simpatisan marxist beranggapan salah satu faktor kegagalan komunisme sebagai suatu sistem ekonomi adalah kesalahan dari para pelaku sistem. Padahal sistem ekonomi Marxist adalah sebuah impian profetik yang bersifat utopis dalam artian hanya benar dalam konstruksi pemikiran tetapi sangatlah absurd ketika direalisasikan. Dapat disimpulkan tidak ada satupun sistem yang absolut di dunia ini begitu pula sebaliknya, sesempurna apapun sebuah sistem tanpa adanya pemahaman yang mendalam serta mekanisme yang benar dalam penerapan sistem tersebut, maka akan terjadi degradasi yang berbanding lurus terhadap waktu sampai titik puncaknya adalah runtuhnya sistem tersebut. Begitu pula dengan sistem pendidikan, tidak ada satu sistem pendidikan yang absolut maupun yang terbaik begitu pula dengan sistem PT-BHPMN.

Sebagai sentra dari institusi pendidikan sudah seharusnya sebuah universitas menjadi pusat kajian keilmuan bagi regional universitas tersebut. Artinya segala permasalahan keilmuan terapan yang tidak mampu ditangani oleh masyarakat akan diselesaikan oleh pihak universitas tersebut. Hal ini secara tidak langsung akan menarik minat korporasi sekitar untuk menjalin kerjasama ekonomi secara institusional sehingga hubungan fungsional yang terbentuk akan mampu memberdayakan komponen universitas (baca; dalam hal ini adalah dosen dan mahasiswa). Ini membuka peluang bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman serta pendapatan sampingan tetapi dibawah pengawasan pihak pengajar.

Hal ini diharapkan menjadi titik pertemuan untuk mengatasi permasalahan berupa semakin besarnya peluang semua orang yang memiliki potensi untuk belajar dibangku universitas. Dalam artian walaupun biaya pendidikan melangit tapi banyak sektor di dalam kampus itu sendiri yang dapat menjadi sumber untuk membiayai pendidikan. Selain bersifat mandiri dalam pemenuhan kebutuhan perkuliahannya terutama dimasalah pembiayaan. Ini akan membuka peluang bagi semua kalangan dari strata ekonomi manapun. Selain itu sebuah nilai lebih bisa didapatkan ketika seorang mahasiswa turut serta dalam sebuah project yang merupakan bentuk kerjasama dengan suatu perusahaan yaitu berupa tambahan pengalaman kerja yang membuat seorang mahasiswa memiliki visi tentang dunia kerja. Mungkin jika hal ini bisa menjadi sebuah referensi penilaian kemampuan akademis mahasiswa oleh pihak pengajar.

Ada sebuah anggapan bahwa sesuatu yang diproduksi secara massal akan menghasilkan kualitas yang massal pula, begitu pula dengan paradigma universitas. Banyak stigma negatif yang menjadi perspektif masyarakat secara umum mengenai sistem PT-BHMN ini, banyak kalangan beranggapan kalau universitas tidak lebih hanya produsen massal sarjana prematur. Kendali kualitas adalah salah satu faktor dominan sebagai pemenuhan prakondisi PT-BHMN yang perlu mendapat perhatian khusus. Diharapkan dengan adanya pengendalian mutu secara benar dapat menjadi solusi kompensatif terhadap besarnya jumlah sarjana.


Saat sekarang adalah masa-masa transisi menuju sistem PT-BHMN yang lebih menyeluruh. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap terjadi sebuah tatanan masyarakat akan menimbulkan korban yang merupakan imbas secara tak langsung. Kita tidak bisa serta-merta menyelamatkan semua korban yang jatuh. Tapi lebih kongkret sepertinya jika meminimalisir jatuhnya korban. Menurut hemat saya, tidak ada perbedaan signifikan mengenai sistem perkuliahan yang ada diseluruh universitas di Indonesia. Tetapi ada hal yang membedakan satu universitas dengan universitas lainya yaitu ikatan alumninya. Arti penting ikatan alumni adalah salah satu bentuk kongkrit upaya katalistik pengembangan sumber daya manusia pasca kuliah.

Banyak kalangan alumni yang telah menjadi tokoh sentral di masyarakat. Peran lebih alumni diharapkan menjadi referensi baru dalam pengendalian mutu itu sendiri. Jika dirasa perlu, pihak alumni bisa memberikan bantuan terhadap pihak pengajar berupa kritik dan saran yang konstruktif terhadap silabus perkuliahan. Dalam beberapa hal, rasa persamaan akan sesuatu bisa menjadi sebuah propaganda nilai untuk menuju kebersamaan serta ikatan kekeluargaan. Begitu pula persamaan ketika memiliki almamater yang sama akan menjadi sebuah trigger dalam penguatan ikatan alumni itu sendiri. Kita bisa menarik korespondensi antara tanggung jawab alumni dan kualitas fresh graduate suatu universitas. Secara tidak langsung para alumni akan bertanggung jawab terhadap seluruh rekomendasi yang diberikannya terhadap dunia kerja.

Dalam rangka penguatan basis ikatan alumni, perlu sebuah hubungan komunikasi intensif antara senior dan junior begitupula terhadap alumni. Perlu sebuah wadah yang menampung dan mengintregasikan hal tersebut. Selain memperkuat ikatan kekeluargaan, hubungan komunikasi secara intensif akan membuat transfer wacana mengenai keilmuan terapan di dunia kerja serta perkembangan teknologi semakin mudah. Selain itu, transfer wacana yang menyangkut visi diharapkan mampu mengatasi paradigma mahasiswa yang terinstitusi, sehingga proses pengembangan diri mahasiswa semakin meningkat dan membuka cakrawala pemikiran yang luas. Ini cukup beralasan ketika seseorang sudah memiliki pemikiran yang lebih dewasa (open minded) serta memiliki long term plan vision mengenai keinginan dan harapan mereka di masa depan, hal ini akan membuat para fresh-graduate siap berkreasi, bersaing di dunia kerja dan turut serta berinovasi di bidang keilmuan.
Teknologi informasi telah sedemikian hingga telah mengubah paradigma masyarakat global mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah klasik yang ditimbulkan oleh komunikasi berupa miscommunication maupun misunderstainding. Banyak situs jejaring sosial maupun forum diskusi dunia maya yang menjamur dalam Internet.Tentunya dengan diawali sosialisasi dan usaha-usaha lain dalam pengubahan paradigma keluarga besar civitas akademika, sehingga implementasi teknologi informasi ini secara tepat, dapat dijadikan sebuah wadah penampung dan pengintregasi keluarga besar civitas akedemika.

Penerapan sebagai learning society dengan menggunakan teknologi saya rasa adalah cara yang efektif. Sebagai awalan, hubungan antar sesama mahasiswa akan semakin terjalin erat terutama ketika intensitas komunikasi meningkat akibat adanya minat maupun orientasi yang sama mengenai suatu hal. Selanjutnya adalah dengan memberi peran vital kepada pihak pengajar(dosen) sebagai Kontributor utama masalah-masalah(testcase) yang berkaitan dengan keilmuan dan bersifat aplikatif. Hal ini juga memperbesar intensitas komunikasi antara mahasiswa dan pihak pengajar. Alumni juga perlu mendapatkan peran khusus mengingat alumni merupakan bagian civitas akedemika yang telah terjun di masyarakat. Diharapkan pengalaman dapat dijadikan sebuah bahan evaluasi dan motivasi yang mampu menciptakan visi bagi mahasiswa yang sedang menempuh kuliah. Di sini peran pihak pengajar(dosen) juga dibutuhkan dalam menjembatani perbedaan standar keilmuan antara alumni dan mahasiswa akibat perbedaan peran maupun pengalaman di masyarakat sebagai implementasi riil atas keilmuan bidang studi. Selain itu, pengalaman alumni dapat sebagai referensi saran konstruktif untuk pihak pengajar (dosen) untuk selanjutnya berkaitan dengan hubungan pihak pengajar(dosen) dan mahasiswa.

Pola hubungan triadic dosen-alumni-mahasiswa tersebut didasarkan atas pola sosiologi yang dikenal dengan sentimen,interaksi, dan aktivitas. Dimana sentimen adalah kegiatan yang dilakukan atas perkiraan akal sehat subjektif individu dan interaksi adalah kegiatan yang mendorong maupun didorong oleh orang lain serta aktivitas adalah perilaku aktual yang digambarkan secara kongkrit. Dari pola hubungan ini dapat disimpulkan, secara tidak langsung akibat terjalinnya hubungan komunikasi secara intensif yang terkontrol dengan baik, dapat mempererat ikatan kekeluargaan antar civitas akedemika sehingga terbangun kesepahaman antar sesamanya. 

Nilai lebih lain yang dapat disinergikan terhadap konstruksi ini adalah update mengenai teknologi, kajian keilmuan kontemporer serta analisis masalah-masalah sosial sehingga didapatkan sebuah solusi yang bersifat kongkrit dan objektif karena melibatkan seluruh civitas akademika. Ketika beberapa hal tersebut dapat diangkat sebagai referensi tambahan penilaian akademis oleh para pihak pengajar (dosen), maka hal ini akan membantu mahasiswa dalam memperoleh visi dan motivasi serta pihak pengajar (dosen) dapat melihat perkembangan peserta didiknya (mahasiswa) dalam penilaian pada implementasi riil. Selanjutnya hal ini mungkin juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam mekanisme filtrasi mahasiswa baru. Selain itu sistem ini dapat berperan penting sebagai pusat informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan civitas akademika. Sehingga dibutuhkan sebuah pihak sentral yang memiliki otoritas serta tanggung jawab penuh dalam mengkontrol dan menjaga kelangsungan sistem tersebut.

Menurut saya, terlalu riskan jika hal tersebut di bawah otoritas langsung pihak universitas pusat, mengingat kompleksitasnya. Sudah saatnya menerapkan desentralisasi berupa pemberian otoritas lebih terhadap pihak fakultas. Diharapkan dengan semakin leluasanya pihak fakultas dalam mengembangkan serta mengambil kebijakan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada, fakultas bisa menjadi lebih mandiri sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa setiap fakultas memiliki sumber pendaptan mandiri berupa pembangunan institusi pendidikan swasta di bawah otoritas fakultas dan kerja sama dalam rangka pengabdian terhadap masyarakat maupun kerja sama dengan korporasi yang mampu menyokong civitas akademika.

Pada dasarnya, tulisan ini merupakan salah satu bentuk usaha untuk menyampaikan aspirasi dalam bentuk kritik konstruktiv oleh saya sebagai seorang mahasiswa biasa kepada para birokrat. Tulisan ini dibuat tanpa adanya tendensi maupun pengaruh dari pihak manapun juga. Adapun harapan penulis sendiri tak lebih hanyalah agar konstruksi sistem pendidikan di Negara Indonesia bakal menjadi lebih baik dimasa mendatang. Kami (para mahasiswa) yang semestinya mampu mengobarkan semangat perubahan . Kami yang seharusnya merasa mengemban tanggung jawab moril atas kemajuan Bangsa Indonesia. Kami yang semestinya berperan aktif di masyarakat sebagai agen intelektual . Mari kita menyadari posisikan kita sebagai mana mestinya ! Mari kita hidupkan kembali semangat pergerakan mahasiswa non-kepentingan yang telah lama mati ! Mari bersama jadikan Indonesia menjadi lebih baik . Hidup Mahasiswa !

Sebuah Subjektifitas Penulis….

Aku hanyalah orang biasa…

Mungkin ini hanyalah kegelisahan yang menghantui pikiran tiap malam…

Suatu kegelisahan yang menghadirkan beribu pertanyaan..

Indonesia punya segalanya…

Tapi Indonesia juga tidak memiliki apa-apa..

Sebuah paradoks..

Selama ini kita tak lebih hanyalah menjadi konsumen hasil para pemikir dunia……..

Selama ini kita hanya bisa meniru....

Selama ini kita hanya menjadi para pemulung informasi…

Sudah saatnya Indonesia menghidupkan hasrat penciptaan sesuatu yang baru………

Tidak menyalahkan… dan tidak mempersalahkan..

Senantiasa memandang dari cermin kebijaksanaan…..

Dalam meniti jembatan perbedaan…….


Yang tidak dimiliki Indonesia adalah manusia – manusia dewasa!!!

Mother tongue

Share